Pernikahan mereka gagal.
Benar-benar tak tertolong lagi.
Setiap hari hanya ada pertengkaran di antara kedua pasangan suami istri itu. Anak mereka menjadi korban. Hal itu mulai terjadi ketika anak mereka berusia 7 tahun.
Anak itu, Rasni, sering mengurung diri di kamar. Kamarnya begitu kotor dan berantakan. Rambut-rambut rontok bekas jambakan pun bertebaran di lantai. Bukan kedua orangtuanya yang melakukan itu, melainkan dirinya sendiri.
Keributan dan bentakan adalah makanan sehari-hari di keluarga itu. Bercerai pun mereka putuskan setelah anak mereka lulus SMA. Tanpa mereka sadari, itu merusak mental anak mereka. Bahkan keduanya tidak menyadari perubahan fisik Rasni dari hari ke hari.
Bekas sayatan semakin banyak di tangannya, rambutnya panjang dan kusut, kulitnya pucat, matanya sayu dan kosong.
"Setelah kamu lulus SMA, kamu harus bisa mengurus diri. Belajar nyuci baju sana!" Itu adalah perintah dari ayah Rasni ketika anak malang itu menginjak usia 12 tahun.
"Kamu nggak usah dandan aneh-aneh. Buang-buang uang. Mending belajar masak aja." Kalau ini perintah ibu.
Rasni tidak menolak dan membantah mereka. Hanya saja dia lelah mendengarkan keributan yang diciptakan mereka.
Ketika ada barang rusak akibat dibanting setelah ribut, memang bukan Rasni yang membersihkan. Tapi suara yang dibuat oleh hentakan benda tersebut membuatnya muak. Suara itu bergema di penjuru rumah.
"Dasar wanita tak tahu untung! Buang-buang uang saja!"
"Kau yang tak tahu diuntung! Pergi dengan wanita yang berbeda setiap harinya! Kau orang gila!"
"Kalian yang gila. Ibu juga berselingkuh, 'kan? Kenapa tidak cerai saja saat ini juga?" gumam Rasni di kamar setelah mendengar keributan.
Kala itu, Rasni sudah menginjak jenjang SMA. Sebentar lagi dia akan lepas dari neraka yang orang-orang sebut 'rumah' ini, 'rumah' yang katanya adalah tempat berlindung dan bersandar. Omong kosong.
Tangan gadis itu menggapai sebuah benda tajam yang letaknya tak jauh dari jangkauannya. Begitu sudah didapat, dia langsung menyayat tangannya.
Tidak ada keluarga, tidak ada teman, tidak ada siapa pun. Hanya dirinya sendiri dan luka. Warna merah adalah warna kesukaannya. Dia tumbuh besar dengan banyak warna merah di tangannya.
Senyum muncul di bibirnya.
"Halo, Merah. Udah berapa hari aku ngga liat kamu." Ucapan itu keluar dari bibir pucat Rasni.
Hari-harinya di rumah memang sangat tidak baik untuk kesehatan mental Rasni, tetapi bukan berarti di sekolah dia mau mencari perhatian agar mendapatkan simpati. Dia tidak suka.
Kalau 'rumah'-nya adalah neraka bagi Rasni, maka sekolah adalah neraka kedua baginya. Di sana dia di-bully oleh anak-anak kelasnya. Bahkan tak jarang anak kelas lain turut mengolok-oloknya.
Rasni hanya diam, bahkan mungkin hampir tak pernah bicara di sekolah itu. Dia hanya bicara ketika disuruh oleh guru, sisanya tidak pernah. Sayangnya, ketika dipanggil ke ruang BK, anak itu lebih memilih bungkam.
Setiap hari merupakan penyiksaan bagi Rasni. Dia tak tahan, tapi mau bagaimana lagi.
Sampai suatu hari, dia benar-benar lelah dengan hidupnya. Di sekolah, pada hari itu juga, ketika anak-anak kelasnya tengah beristirahat di luar kelas, gadis itu mengeluarkan pisau tajam yang dibawanya dari rumah.
Gadis itu berniat untuk mengakhiri diri di sekolah. Tapi sebelumnya, dia merobek-robek tas milik anak kelas yang merundungnya.
Tanpa ketahuan siapa pun, dia melancarkan aksinya. Belasan tas telah robek, kini dia lumayan puas. Senyum muncul di wajahnya. Senyum yang tak bisa diartikan oleh siapapun.
"Selamat tinggal, dunia." Gadis itu menyayat nadinya sambil tersenyum.
Pendarahan hebat terjadi padanya. Darah menyembur, membasahi lantai dan seragamnya. Rasa sakit hebat terasa di tangan Rasni yang berlumuran darah. Tapi senyuman itu tak pudar, bahkan semakin lama semakin lebar dan dia mulai tertawa lepas.
Detik demi detik berlalu, sampai akhirnya sekujur tubuh Rasni terasa lemas. Dia tersungkur, kepalanya terantuk lantai dengan keras dan dia pingsan seketika. Seperti tadi, dia masih belum berhenti tersenyum.
Bahkan di napas terakhirnya, dia sama sekali tidak memudarkan senyumannya.
— end —
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Kelas Sebelah
HorrorPertemuan di lorong itu adalah awal dari hubungan kami. Hubunganku dengan anak dari kelas sebelah itu.