Impian

16 0 1
                                    

Aku suka menggambar. Aku mengikuti klub menggambar di sekolah. Impianku adalah menjadi komikus di masa depan nanti. Gambarku lumayan. Bisa dibilang bagus. Tapi tak sebagus teman karibku, Tia. Dia mahir di semua hal. Akademik, non akademik, dan seni. Aku iri sekaligus bangga kepadanya. Tia mengikuti satu klub yang sama denganku. Kami selalu bersama sejak kelas 10.

"Anaaa, pagii!" sapa Tia kepadaku pagi ini. Dia berlali di koridor kelas.

" Halo Tia, pagi," aku membalas sapanya, tersenyum. Kami berjalan bersama menuju kelas.

" Bagaimana persiapan ulanganmu? Aduh, aku belum belajar. Semalam aku langsung tertidur setelah mengerjakan PR Matematika," tanyaku.

"Sudah dong, lagipun, materi ulangannya mudah. Aku yakin kamu bisa." Tia mengatakan itu sambil tersenyum. Tidak ada percakapan lebih lanjut setelah itu. Aku mengamati sesuasana pagi di sekolah. Anak laki-laki yang sedang bermain bola dilapangan, anak anak yang sedang berkumpul dan mengobrol, sampai ada yang membuat kelompok belajar yang sepertinya sedang mengerjakan PR pagi-pagi.

Aku dan Tia sampai menuju kelas. Terlihat, banyak anak yang sedang belajar di mejanya. Ulangan dimulai pada jam pertama pembelajaran. Aku mengikuti tingkah mereka, menaruh tas dibangku, mulai belajar untuk ulangan pagi ini. Terlihat Tia yang disampingku sedang membaca novel. Dia sudah belajar semalam, maka dari itu dia tampak tenang pagi ini.

Ulangan berjalan lancar. Aku bisa menyelesaikannya dengan baik. Benar kata Tia, materi ulangannya mudah. Pelajaran hari ini sudah berakhir. Sore ini, ada pertemuan klub menggambar. Aku dan Tia berjalan menuju kelas tempat klub menggambar setelah sekolah berakhir. Tampak beberapa murid sudah berada di dalam kelas. Aku dan Tia langsung duduk. Kami mengobrol sambil menunggu Bu Ika, pembimbing klub menggambar datang.

Setelah menunggu beberapa saat, Bu Ika memasuki kelas.

"Selamat sore anak-anak."

"Sore ibuu."

" Sebentar lagi festival sekolah akan diadakan. Apakah kalian punya ide kita akan melakukan apa?"

" Kita membuat komik saja bu, tahun kemarin komik yang kita buat sangat laku terjual kan? Kita bisa membuat sekuel dari komik tahun kemarin," usul Dika. Ia salah satu penulis yang berpartisipasi dalam pembuatan komik tahun kemarin. Komik itu memang sangat laku. Dika memang sangat berbakat menulis cerita. Judul komik tahun kemarin adalah Harapan Setangkai Bunga. Aku membaca sinopsisnya. Kata orang, pembawaan ceritanya sangat bagus. Yang menggambarnya adalah Tia. Style gambarnya yang unik menambah nilai dari komik itu. Aku hanya membantu mengarsir sedikit gambar Tia. Aku tak terpilih menjadi penggambar utama di komik tersebut. Aku juga menerbitkan komik saat itu, namun, komikku tak sebagus dan selaris milik Tia.

" Hei Tia, ayo kita melakukannya lagi! Aku sudah mendapatkan ide untuk ceritannya! Aku jamin kali ini akan laris dua kali lipat daripada tahun kemarin!" Dika mengatakan itu sambil tertawa. Langsung mengoceh tentang ide yang didapatkannya itu akan spektakuler. Sedangkan Tia disebelahku hanya diam tersenyum.

" Tia! Bagaimana? Kau mau atau tidak?" Tanya Dika. Seluruh kelas menoleh kepada Tia. Dia diam untuk beberapa saat.

" Hmm, maaf aku sedang tidak ingin menggambar komik untuk saat ini," bilangnya sambil tersenyum. Aku sangat kaget. Dika tampak kecewa. Kelas sangat ribut.

" Kenapa kau tidak mau melakukannya?" tanyaku

" Entahlah, aku sedang tidak mau. Kamu ingin melakukannnya Ana? Bukankah gambarmu juga bagus?" tanyanya. Mendengar hal itu entah kenapa aku marah. Namun, aku berusaha tetap tenang.

"Ini kesempatanmu Tia, karyamu bahkan tahun kemarin sangat bagus. Pihak sekolah juga sudah mengajukan karyamu ke penerbit terkenal. Tinggal menunggu waktu saja sampai itu dipublikasikan di depan umum. Kenapa kau tidak mau melakukannya? Ini hal besar!" aku mengatakan itu sambil sedikit berteriak.

" Menggambar hanyalah keselinganku saja Tia, aku tidak ingin menjadi komikus. Aku membuatnya hanya untuk bersenang-senang. Harusnya ini menjadi kesempatanmu untuk bisa bersinar Na, lanjutkan komik kemarin. Aku akan mendukungmu. Gambarmu sangat bagus. Aku yakin yang lain juga setuju." Anak anak dikelas mengangguk. Mereka setuju gambarku bagus. Sebagian lagi berbisik bisik memincingkan mata sinis kepadaku.

" Walaupun begitu, gambarmu tetap yang terbagus di sekolah ini, kalaupun itu aku, aku tak akan menggambarnya sebagus kau? Kenapa kau tidak mau?" Aku berteriak kali ini. Tia hanya diam. Tak menjawab. Kemarahanku tak terkendalikan lagi.

Aku pergi meninggalkan kelas. Menangis. Menuju ke balkon sekolah dan termenung. Tiba tiba, seseorang menyapaku. Itu Rika. Adik kelas yang cukup akrab denganmu

"Halo kak Anaa, sedang apa kakak di luar? Dingin loh, ayo masuk!" Aku tak menjawab. Buru buru menyeka tangisanku. Hanya berdiam diri melihat ke langit.

"Kakak tidak apa-apa? Kenapa kakak disini? Bukankah ada perkumpulan klub menggambar sore ini?" tanyanya.

"Kau bagaimana? Tidak pulang?" aku bertanya.

"Belum ingin. Aku sedang membaca komik ini. Temanku memberikannya. Itu sangat bagus. Katanya itu buatan klub Menggambar. Keren banget. Aku melihat ada namamu kak di halaman penulis. Keren sekali." Aku hanya diam, tak menanggapinya.

"Kapan lanjutan dari komik ini akan terbit kak? Eh, apakah komik ini akan dilanjutkan?"

"Kenapa kau bertanya kepadaku?"

"Bukankah kakak yang menggambarnya?"

"Aku hanya menggambar sedikit, sejujurnya bahkan aku tak pernah membacanya. Aku hanya membaca sinopsis di belakangnya. Kau tak melihatnya? Yang menggambar itu Tia bukan aku." Aku menunjuk dicover komik tersebut. Tertampang nama Tia dan Dika.

"Ah, maaf aku tidak melihatnya. Tapi kenapa kakak tidak pernah membacanya? Bukankah kakak membantu pengerjaan komik ini?" Aku melirik Rika. Dia bertanya dengan polos. Aku tertawa.

"Aku membacanya, hanya sedikit. Tak pernah selesai. Aku membenci komik itu. Kutaruh dibelakang lemari. Seolah olah aku menolak keberadaan buku itu. Aku membencinya. Menganggap karya itu tidak ada." Rika terlihat bingung dengan perkataanku. Sebelum dia mulai bertanya lagi, aku melanjutkan perkataanku.

"Yang menggambarnya teman karibku. Aku iri kepadanya. Hei, bagaimana perasaanmu jika kau memiliki minat kepada sesuatu, dan kau mengejar keras kepada sesuatu itu, tapi temanmu yang bahkan tidak tertarik pada sesuatu tersebut membuat karya yang lebih bagus darimu?" Rika terdiam. Aku langsung pergi meninggalkannya.

Sudah 2 minggu aku tidak berbicara kepada Tia. Aku yang mengabaikannya. Sampai suatu saat, terdengar kabar bahwa Tia akan pindah sekolah. Namun sampai kependihannya, aku tak ada keinginan untuk berbicara kepadanya.

Hari, demi hari berlalu. Aku tetap semangat untuk menggambar komik. Aku ingin melampaui karya Tia. Bahkan, karyaku diterbitka di salah satu penerbit terkenal. Aku senang. Aku mencapai titik tertinggiku pada saat itu. Aku bahkan melupakan Tia, dan pertengkaranku dengan Tia sore itu.

Suatu hari sebuah surat datang kepadaku. Itu dari Tia. Didalam suratnya, ia menyampaikan bahwa ia sangat bangga kepadaku. Aku menangis. Tak kusangka, ia masih ingat padaku. Aku merasa bersalah kepadanya. Aku segera menulis surat untuk membalas suratnya. Aku menyampaikan permintaan maafku dan berkata bahwa aku ingin menemuinya suatu saat lagi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 03, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

KUMPULAN CERPEN SINGKATWhere stories live. Discover now