Sebelum tidur aku kepikiran keluarga pak duda. Bukan karena tiga bujangnya yang tampan itu tapi karena ini malam pertama mereka tinggal di rumah yang terkenal angker karena lama kosong. Aku membalik bantal untuk mencari bagian yang dingin lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh kecuali kepala dan kaki. Persekian detik kemudian aku melepas selimut dari tubuh karena tidak nyaman.
"Kok orang-orang pada tega sih jual rumah angker? Kalo terjadi kesurupan masal, gimana?" Aku mengacak rambut yang sengaja dipotong hingga pendek di atas leher.
Masih banyak pertanyaan lain yang semakin bermunculan di pikiranku, membuat rasanya kepala yang satu ini penuh bahkan nyaris pecah. Aku sudah meyakinkan diri bahwa itu bukan urusanku, seharusnya aku bersikap bodo amat saja. Namun, sebagai anak tunggal dari seorang RT di kampung, aku merasa harus bertanggung jawab atas itu.
Memangnya sebelum rumah angker tersebut dijual, tidak ada kontrol terlebih dahulu kah mengenai segi kondisinya? Atau pak duda memang sengaja membeli rumah itu yang pasti harganya tidak lebih mahal daripada rumah bertingkat yang lain? Arrggh, pikiran tidak penting ini membuatku pening!
GRUP HIJAIYAH
[Menurut kalian, kalo aku datang ke rumah pak duda buat ngasih tau kebenaran rumahnya apa gak apa-apa ya?] Aku mengetik pesan untuk grup.
[Menurutku sih ada bagusnya, kasihan mereka pasti kena teror makhluk halus malam ini!] Ainun membalas lebih dulu.
[Tapi emang kamu berani, Dal? Heh, jangan ajak aku ya, soalnya gini-gini juga aku masih punya malu!]
Aku melotot membaca balasan dari Alifa. Maksudnya aku bagaimana? Tidak punya malu, begitu?
[Emang kalian gak mau bantu aku?]
[Aduh, Dalia, itu rumah isinya laki semua mana berani kita yang cuma perempuan masuk sana! Ada-ada aja idemu itu!]
[Apalagi kita masih perawan, ih nggak banget!]
[Kalian mikirnya kejauhan woi!] Aku tidak tahan melihat dua kawanku bicara banyak hal tak terduga.
[Kamu sih enak bisa karate, lah aku sama Alifa bisa apa?]
Aku agak setuju dengan tulisan Ainun, tapi juga berpikir lagi apakah benar baik jika aku pergi menemui pak duda untuk bicara? Sebenarnya aku sudah bertanya pada Bapak dan Ibu mengenai siapa yang menjual rumah itu tanpa memberitahukan kebenarannya, tapi respon mereka tak membuatku puas. Bapak malah tertawa karena menganggap pertanyaanku aneh.
***
Aku berdiri agak ragu di gerbang rumah besar bercat biru langit. Sekilas dipandang, rumah itu tampak indah dengan hiasan tanaman hijau di halamannya tetapi mengingat dalamnya aku merinding sendiri. Konon, ada warga yang selalu mendengar suara palu bangunan dari dalam rumah, atau mendengar suara tangisan dari dalam, atau juga melihat bayangan saat lewat ke rumah ini malam-malam. Aku tidak bisa bayangkan bagaimana tadi malam keluarga baru itu memejamkan mata.
Sebelum melangkah lebih jauh, aku membaca ayat kursi dan surah tiga qul yang selalu menjadi surah favorit untuk dibaca ketika salat.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam!" Suara itu dibarengi dengan terbukanya pintu yang aku ketuk barusan. Seorang pemuda berkacamata kotak dan masih mengenakan gamis putih serta sorban di tangannya membuatku menelan ludah kering.
"Dalia, ayo masuk-masuk!" ajaknya semakin membuatku ingin pingsan. Dia sudah tahu namaku? Bagaimana bisa?
"Aku itu ... mau itu cari bapaknya ada?" Entahlah apa pemuda ini memahami maksudku atau tidak.
"Ayo kita bicara di dalam aja, Dalia, sambil ngeteh!" Dia terus membuka pintu lebar-lebar.
Aku ikut ke dalam dengan langkah ragu bahkan sudah gemetar. Cowok jangkung itu siapa pula namanya, apakah Ajami atau Ahad, aku tidak tahu. Wangi parfumnya membuatku semakin deg-degan.
"Ahad, kamu bawa siapa?"
Oh! Ternyata namanya Ahad dan itu berarti cowok lain yang baru datang dari arah tangga itu bernama Ajami karena aku belum pernah melihat mereka. Oke, Dalia, stay cool.
"Ini Dalia, kamu lupa?"
Wait, wait! Apa maksudnya 'kamu lupa'? Mereka tahu apa soal diriku sebelumnya?
"MasyaAllah ... keren, keren, lama gak ketemu makin cantik aja kamu, Lia!" Cowok yang kuyakini bernama Ajami itu langsung melangkah mendekat. Dia juga tahu nama panggilanku di rumah!
Setelah duduk ditemani Ahad dan Ajami, kakak tertua mereka yaitu Abdullah juga turun dari tangga dan menatap heran ke arah sofa. Lebih tepatnya menatap heran ke arahku. Dia pasti bertanya-tanya untuk apa aku ada di rumah besar ini sendirian.
"Lia, kamu datang sendirian?" tanya Abdullah saat sampai di dekat kedua saudaranya.
"Dia ada perlu sama papa tapi beliau kan sudah berangkat kerja, jadi kami pikir dia perlu bicara denganmu aja, Bang!" urai Ajami.
Abdullah beralih duduk di sofa bersama dua saudaranya lalu tampak serius menatap lawan bicaranya yang adalah perempuan bocah sok berani ini. Aku mendadak susah sekali mengeluarkan kata-kata.
"Kalian tahu apa soal aku?" Kan! Mulut sialan ini malah bertanya hal lain dari yang dituju sebelumnya.
Mereka diam saja, saling memandang satu sama lain sebelum akhirnya tertawa kecil dengan kepala menggeleng-geleng seolah aku baru saja melakukan hal yang salah.
"Kita memang lama nggak ketemu ya, dulu kamu masih orok banget kayaknya sampai gak inget!" Ahad membetulkan kacamatanya sebentar sembari menyindirku.
"Kamu masih suka buah markisa itu, Lia?"
Aku bahkan tidak tahu kalau aku suka buah markisa!
"Kamu masih saja tomboi, nggak berubah. Tapi sekarang makin cantik dan pakai jilbab juga," komentar Ajami.
Aku tidak ingin mati kutu di hadapan mereka bertiga yang ternyata mengetahui tentangku bahkan melebihi pengetahuanku sendiri. Ini aneh tapi nyata dan aku ingin segera keluar dari rumah tersebut. Sekarang rumahnya bertambah angker bagiku.
"Jadi kamu ada perlu apa, Lia?" tanya Abdullah menatapku tenang. Sorotan matanya itu menyejukkan hati dan sungguh mencerminkan bahwa ia memang kakak tertua.
"Aku sebenarnya gak tahu harus mulai dari mana jadi aku mau tanya aja, kalian sebelum beli rumah ini apa gak ada curiga sedikitpun?" Kalimatku diselesaikan tanpa koma.
Pertanyaanku rasanya tidak salah tetapi ketiga cowok yang mendengarnya seolah sedang terpesona dengan keindahan pertanyaan tersebut atau tidak mengerti sama sekali dengan perkataanku. Aku hendak mengulang tapi Abdullah sudah lebih dulu menyela keinginan bicaraku.
"Kalau soal rumah sih kami cuma ikut papa. Kamu harus bicara sama papa kalau mau tahu banyak tentang rumah ini, nanti sore lah datang lagi ke sini, ya!" ujar Abdullah ramah.
"Maaf ya aku sudah ganggu," mohonku segera beranjak untuk pamit.
"Kamu mau langsung pulang? Gak mau lihat karya-karyaku dulu, gitu?" Ahad tiba-tiba ikut beranjak. Ada apa dengannya yang bersikap seperti kepada seorang kawan dekat yang baru dipertemukan kembali?
"Nggak, makasih."
"Lia takut kali kan di rumah ini kita bertiga cowok!" Akhirnya Ajami paham perasaanku.
"Sebentar lagi bibi ART datang loh, Lia, nggak usah takut ada fitnah!" kata Ahad.
"Nggak! Nggak, maksudnya aku mau pulang aja," tolakku kemudian melangkah mundur menjauhi mereka lantas berbalik untuk segera lari menuju pintu keluar. Sungguh, aku takut sekali bahkan saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Ternyata bukan hanya rumahnya yang angker, para penghuninya juga. Aku jadi berpikir macam-macam seperti apakah sebenarnya ketiga cowok tadi itu bukan manusia? Jin yang menyamar? Setan yang terkutuk?
Bapak ...! Anak gadismu berhasil keluar dengan selamat!
KAMU SEDANG MEMBACA
BISMILLAH 3 A
RandomDalia dan dua kawannya merasa hidup biasa saja. Membosankan. Namun ketika keluarga pak duda pindah ke kampung mereka, ada misi baru bagi hidup Dalia dan dua kawannya itu. Mereka berencana untuk jatuh cinta serta membuat ketiga bujang pak duda jatuh...