Bukankah kita sangat amat jarang bersua? Bukankah kita hanya berkesempatan memandang muka satu sama lain hanya sedikit sekali? Dan bukankah aku tak pernah membagikan foto wajah ke sosial media, sehingga orang-orang tak pernah tahu seperti apa mukaku? Bukankah begitu, Tuan?
Lantas, apa yang membuatmu menaruh hati padaku? Ah, maaf, apakah aku terlalu percaya diri? Sepertinya iya. Kamu lebih dahulu mengikuti sosial mediaku, sebab mengenalmu maka aku ikutilah akunmu. Hari-hari tidak ada hal yang aneh, semuanya berjalan seperti biasa. Aku menonton ceritamu, pun kamu juga. Tidak ada apa-apa selain sebatas penonton, benar bukan?
Namun, hari itu, aku dibuat terkejut ketika membuka ponsel. Fulan menyukai cerita Anda. Baik, mungkin terkesan berlebihan, tapi aku menangkap sesuatu yang berbeda. Meski demikian, cepat-cepat aku buang pemikiran itu. Kembalilah aku melaksanakan aktivitas seperti biasa, termasuk mengunggah foto-foto pemandangan di sosial media, sebab aku memang suka mendokumentasikan segala hal yang bagiku cantik dan menarik untuk dikenang.
Dan engkau, Tuan, lagi-lagi menyukai segala yang aku unggah. Sekeras mungkin aku berjuang untuk bersikap bodo amat, sebab bisa jadi kamu berbuat demikian kepada orang lain, maksudku kepada perempuan lain. Benar begitu, kan? Makin ke sini, engkau makin sering memenuhi notifikasi ponselku dengan menyukai cerita-cerita yang aku bagikan.
Tuan, tidakkah kamu mengerti perasaanku kala itu? Atas dasar apa engkau berbuat demikian? Apakah ada maksud lebih dalam dari sekadar menyukai cerita? Jika iya, apa itu? Maukah engkau bercerita?
Waktu itu, aku hanya dipenuhi oleh ketidakjelasan dan rasa penasaran amat kuat akan tingkahmu itu. Bolehkah aku berharap sesuatu? Terkadang aku ingin begitu, tapi risiko pengharapan sungguh berat dan aku tak yakin sanggup menahannya.
•••
‘Cintailah Allah dulu, maka Allah akan menggerakkan ciptaan-Nya untuk mencintaimu.’
Sebuah quotes yang pernah engkau kirim kepadaku. Apa maksudmu, Tuan? Mengapa engkau menunjukkan kalimat itu? Apakah mungkin engkau ... . Ah, cukup. Jangan terlalu melimpahkan harapan.
Akan tetapi, engkau semakin menampakkan bahwa perasaanku terbalaskan. Pasti terbalaskan. Caramu merespons pesan-pesan dariku, caramu menyapaku, bahkan tak jarang engkau menghiburku dengan mengirim banyak konten random.
Ya Allah, apa rencana yang telah Engkau persiapkan untukku? Sungguh, ujian ini penuh dengan jebakan! Bertubi-tubi kupaksa untuk menanamkan pikiran bahwa bisa jadi engkau berbuat demikian ke orang lain, sehingga tak ada gunanya aku merasa berbunga-bunga. Aku bukan satu-satunya, jangan terlalu ngarep.
“Bukankah kebanyakan laki-laki begitu? Tolong jangan termakan jebakan sepele ini!” Ucapku mencoba menyadarkan diri sendiri tiap kali hendak tenggelam dalam fatamorgana.
🤍✨