1. Awal Kehancuran

24 4 1
                                    

"Kamu tak mencintaiku lagi, Mas?" Zahra menatap Farhan, suaminya, yang nampak terkejut ketika mendengar pertanyaannya.

"Apa yang kamu bicarakan? Aku baru pulang kerja, kamu sudah bikin ribut saja." Farhan mengelak, melemparkan sembarang tas kerjanya lalu masuk kedalam kamar mandi.

"Aku hanya bertanya," lirih Zahra berucap. "Seharusnya jika itu tak benar, Mas bisa bilang tidak, kan?" Ia mengusap sudut matanya yang sudah berair, lalu memilih pergi dari kamar mereka. Sedangkan Farhan langsung mengguyur tubuhnya dengan air, dengan perasaan gundah.

.

"Kira-kira lowongan kerja dimana ya, Sa?" Zahra menatap Risa, temannya semasa SMA dengan serius.

"Kenapa nanya-nanya lowongan? Suamiku kamu itu Direktur, Ra," jelas Risa. "Udah enak ongkang-ongkang di rumah, malah cari yang susah."

Keduanya janjian bertemu disalah-satu cafe dekat Taman Kanak-kanak, tempat anak mereka bersekolah, yang kebetulan seumuran. Risa sebenarnya wanita karir, ia berkerja sebagai karyawan dari salah-satu perusahaan swasta, pengelola properti, sama seperti suaminya. Hanya saja hari ini dia mengambil cuti.

"Aku ingin mandiri, Sa."

Risa menatap Zahra menyelidik. "Jangan bilang suami kamu selingkuh, Ra?!" Tuduhnya.

Zahra menggeleng cepat.

"Lalu kenapa cari pekerjaan?" tanya Risa penasaran. "Anak kamu itu tiga, Sa. Saranku sih lebih baik kamu fokus ngurusi anak-anak kamu aja."

"Aku juga berfikir begitu, tapi Zakia udah TK. Sudah lumayan besar untuk ditinggal kerja, kayak kamu." Jelas Zahra.

"Anakku baru satu, Ra," ucap Risa. "Gimana Reno, sama Seno? Anak-anak kamu itu yang kembar aktif semua, baru kelas dua SD lagi."

"Ada pengasuhnya mereka, Sa." Zahra menjawab tenang. Walaupun dalam hatinya merasakan pilu. Bekerja? Itu sebenarnya bukan keinginannya, namun untuk jaga-jaga tabungan dirinya dan anak-anaknya kelak. Sejak kejadian kemarin tepatnya, dimana ia membaca pesan suaminya dan masa lalunya.

"Aku tau kamu, Sa." Risa menatap mata Zahra lekat, menemukan ada banyak kegundahan didalamnya. "Kamu punya mimpi, mau menjadi ibu rumah tangga yang hanya fokus menjaga anak-anak kamu, kan?"

Pecah sudah tangis Zahra mendengar penuturan Risa. Risa benar, mereka sudah berteman sejak masa putih abu-abu. Risa sudah sangat mengenal Zahra, begitu juga sebaliknya.

Risa mendekati Zahra, lalu memeluknya erat. "Ada apa? Kamu bisa cerita sama aku, Ra."

Zahra makin terisak, menumpahkan tangisnya pada Risa. Hanya ada Risa yang mengerti dirinya di dunia ini, tak ada yang lain. Bagaimana dengan Ibu, dan Ayahnya? Mereka sudah berpulang kepangkuan yang kuasa. Ibu Zahra meninggal saat melahirkan. Sedangkan ayahnya, berpulang sejak sepuluh tahun lalu. Dia mempunyai adik tiri laki-laki dari pernikahan ayah dan ibu tirinya. Ibu tiri Zahra sama sekali tak menyukainya, lebih terkesan membencinya.

Zahra mengambil nafas dalam-dalam, sebelum akhirnya menceritakan semuanya pada Risa.

Kejadian tiga bulan lalu, saat dirinya menemukan berkas kerja suaminya yang tertinggal di rumah. Ia berinisiatif untuk mengantarkan ke kantor. Sesampainya di kantor, saat akan masuk keruangan suaminya. Pandangannya terpaku pada dua orang yang tengah berpelukan erat. Kali pertama untuknya, melihat Farhan menangis sembari mengucapkan kata rindu. Kata rindu seorang kekasih pada pujaan hatinya. Dahulu saat ia berjuang melahirkan ketiga anak-anaknya, Farhan tak pernah menangis. Zahra bahkan bisa mengingat, Farhan tak pernah menangis selama pernikahan mereka. Sekarang? Zahra bahkan melihat Farhan menangis tersedu, untuk wanita yang dicintainya.

Sejak kejadian itu, sikap Farhan berubah padanya. Suaminya yang memang cukup dingin itu, benar-benar seolah tak tersentuh. Farhan mendiaminya, namun tidak dengan anak-anak mereka. Hingga akhirnya, sebulan lalu setelah insiden dia menanyakan dengan lancang, apa suaminya mencintainya? Farhan justru jarang pulang ke rumah. Bukankah ini tak adil? Seharusnya Zahra yang marah bukan? Tapi mengapa justru Farhan yang seolah-olah terluka?

.

"Aku akan bantu kamu cari pekerjaan, Ra." Risa mengusap punggung Zahra yang sudah tak begitu terguncang. "Kita akan cari sama-sama. Kamu harus kuat, demi kamu dan anak-anak kamu."

Zahra mengangguk, mengusap air matanya. "Bagaimana jika sewaktu-waktu Mas Farhan menceraikan ku, Sa?"

Risa menggeleng. "Enggak mungkin, Ra. Anak-anak kalian masih kecil."

"Saat rumah tangga kami sudah mulai damai, seperti halnya rumah tangga yang seharusnya. Kami malah kembali diuji dengan didatangkan, wanita masalalunya yang sangat ia cintai." Zahra meratap sendu. Ia dan Farhan menikah dulu karena perjodohan orangtuanya, sepuluh tahun membina rumah tangga, tentu sudah banyak suka-duka yang mereka lewati.

Diawal pernikahan mereka, mereka sama-sama begitu dingin. Tahun berikutnya mereka sudah mulai saling kenal, hingga setelah bertahun-tahun berhasil membidik rumah tangga dengan sakinah. Sampai akhirnya mempunyai tiga orang anak. Zahra tentu sangat tau tentang Farhan dan masalalunya, karena dahulu kerap melihat sang suami memandang sendu foto di ponselnya, hal yang terus dilakukan Farhan berulang. Sampai akhirnya hubungan Farhan dan Zahra membaik, mereka membuka lembaran baru bersama. Hanya saja, Zahra tak tau alasan keduanya memilih untuk berpisah. Apakah karena tak direstui, atau bagaimana?

Dan sekarang, hubungan mereka yang harmonis tiba-tiba hilang seketika dengan kehadiran wanita masa lalu Farhan tiga bulan lalu. Sebegitu hebatnya kamu mencintai wanita itu, Mas? Sampai-sampai aku dan anak-anakmu mulai kamu jauhi. Apakah selama ini aku hanya sebagai pelampiasan saja, atau bagaimana? Tapi bagaimana dengan kata cinta yang pernah kamu ucapkan? Apakah itu hanyalah angin lalu semata? Karena kulihat, dengan hadirnya wanita itu, kamu dengan cepat berubah.


Next?

Cinta Yang Hilang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang