⚠️TW // Harsh word, drugs, injections, death, blood, crime, etc. (17+) ⚠️
"Pelayaran dilakukan pukul 5, lekas selesaikan semua kekacauan ini."
Sayu, Jarek mengarahkan netranya diantara pintu. Mengusir lapisan kabut yang menghalang kala pening menyerang, kedipan ketiga ia baru menangkap jelas rupa der opa yang tengah berdiri dengan tongkat kayu di lengan kanannya.
Masker oksigen Jarek mengembun, merintih samar saat ngilu mendongkrak persendiannya begitu tocilizumab disuntikkan pada injection connector. Di saat seperti ini bukannya merasa khawatir, pria tua itu justru membuang pandang pada jam dinding di dalam kamar ─tak sudi menghampiri cucunya sendiri.
"Setidaknya tunjukkan rasa simpatimu sedikit saja, sir."
Jarek tak sanggup membuka kelopak matanya lagi, namun ia sadar itu suara Hainrich. Kakak tertuanya yang baru tiba dari Polandia tadi pagi.
Tak sadar Hainrich masih ada di dalam kamarnya ─bersandar di dekat jendela─ sebab tak terdengar suara apapun selain denyutan nyawa yang dilantunkan bed side monitor di sekelilingnya sampai countertenor memberi jeda, "Berpura-pura pun tak masalah. Apa harus aku contohkan?"
"Usir berandalan itu dari sini, Mia!"
Hainrich menaikan sudut bibirnya, "Pardon me? Aku agak tersinggung loh." Lelaki itu menarik kacamata hitamnya kemudian mengarahkannya pada sang kakek. "Pintunya masih ada di sana ngomong-ngomong. Tidak perlu diusir pun aku tahu harus jalan ke arah mana," ucapnya. Jelas menampakkan senyum buatan sampai tiba-tiba tubuh jangkungnya berdiri sempurna.
"Oh atau sebenarnya anda yang ingin saya antar keluar?" Lekas menyelipkan kacamatanya diantara kerah baju, Hairich menyampirkan telapak tangannya di depan dada ─agak berlebihan melihat bagaimana tungkai kanannya ditekuk ke belakang hingga membuat tubuhnya hampir terjungkal karena pijakannya tak benar. "Sebuah kehormatan bagi berandalan ini untuk melaksanakannya."
Tentu saja bukan Hainrich jika tak bersenang-senang. Entah dari mana pula frasa formal kurang ajarnya itu berasal, yang jelas Hainrich sudah kembali meluruskan punggungnya. Mengucapkan "Mari" sampai hampir maju begitu der opa melangkah mundur.
"Bocah kurang ajar!" Pria tua itu menekan pegangan tongkatnya saat sadar bahwa Hainrich bermaksud mengusirnya. Ia kemudian berbalik menghadap Mia yang masih berdiri di dekat pintu. Menyortirnya dengan tatapan dari ujung rambut sampai ujung kaki hingga kembali memberi pandangan hina pada Hainrich yang hanya menaikkan kedua alisnya.
"Berandalan memang pantas sekubu dengan berandalan."
Mia dengan jungle boot sepaha, celana super pendek, juga crop top ketat yang hanya ditimpa rompi oblong berwarna khaki memang terlihat mencolok diantara para old money. Namun beruntung ia masih menerapkan basic manner yang sering diajarkan Jarek ─tak sekalipun Mia membalas tudingan pria pemilik takhta tertinggi keluarga ini. Selain berpura-pura sibuk mencari debu yang tertinggal di atas lantai, perempuan itu hanya bergeser untuk menarik daun pintu begitu der opa mengangkat kakinya.
"Aku kemari hanya untuk memastikan kau benar-benar berangkat."
Ucapan itu jelas tertuju untuk Jarek. Meski hanya memutar atensi 90° ke sisi kiri, suara der opa tepat mencapai tujuan. "Jangan pernah berpikir untuk menyampaikan hal ini pada Jan. Pekerjaannya jauh lebih mendesak daripada dirimu," tukasnya. Tak lama disusul suara hentakan kayu serta iring-iringan langkah para pengawal pribadinya ─der opa sama sekali tak berminat menyelipkan rasa cemas diantara perpisahan mereka, meski Jarek terus mengibanya di dalam sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEVANTER || Jake Shim [OPEN PO]
Fanfiction[[ angst, sicklit, brothership, survival ]] Note : bagian yang ditarik (TMI) hanya berisi teori dan penjelasan dari Prolog sampai Epilog, jadi ALUR utamanya masih LENGKAP walaupun sedang dipersiapkan untuk terbit. ...