1

8 0 0
                                    

Di pantai pada sore hari, waktu tampaknya berhenti untuk sepenggal atmosfer yang indah dan tenang.

Seolah-olah alam semesta sendiri sedang merenungkan keindahan yang terpampang di depan mata.

Di sinilah matahari perlahan-lahan merosot di balik cakrawala, meninggalkan jejak berkilau di permukaan laut yang tenang, seolah-olah itu adalah permata air yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang menganggap alam sebagai teman.

Dalam ketenangan itu, deburan ombak menjadi latar belakang yang mengiringi langkah anak-anak desa bermain air di bawah langit sore.

Setiap gelombang yang pecah di tepi pantai bagaikan nyanyian pelan yang merayu dan mengundang kita untuk menikmati setiap alunannya.

Pasir pantai yang halus terasa sejuk di bawah telapak kaki, seperti bantal lembut yang menuntun seseorang untuk merebahkan diri di atasnya.

Dari kejauhan, deretan pohon kelapa menjulang tinggi, memberikan naungan teduh bagi mereka yang mencari pelarian dari sengatan matahari.

Bayangan pohon-pohon itu menari dengan anggun seiring dengan angin senja yang berhembus lembut menerpa daun-daunnya.

Selama aku memandang ke arah cakrawala yang luas, terlihat perahu nelayan yang bergerak pulang ke pelabuhan setelah seharian melawan ombak.

Di antara para kapal nelayan, salah satunya adalah milik Bapak. Aku menyaksikannya saat perahu milik Bapak merapat ke dermaga.

Dari sana, tiga pria dewasa turun dari perahu. Mereka tidak lain tidak bukan adalah Bapak, Paman Jito, dan Pak Barno.

Aku yang sedang fokus memperhatikan kegiatan-kegiatan di dermaga, Fakhrul, sahabatku yang penuh keusilan, tiba-tiba menyiramiku dengan air dari belakang. Gelak tawa khasnya menghiasi udara.

"Hahaha, kena kau!" serunya sambil tertawa lebar lalu kabur menyelami lautan.

Tentu saja, aku merasa tertantang untuk mengerjarnya, meskipun aku tahu betul bahwa mengejar seorang juara renang bermedali emas se-kabupaten seperti Fakhrul adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin jika dibandingkan dengan kemampuanku yang masih pemula.

"Hei, kau curang!" pekikku sembari berusaha mengejarnya.

Dalam sekejap, Fakhrul kembali meluncur ke dalam air, menghindari dengan gesit usahaku untuk menangkapnya.

Sesekali aku menoleh ke arah dermaga, kulihat Bapak sedang bersiap untuk pulang dengan se-ember ikan dari hasil tangkapannya hari ini. Sepertinya sudah waktunya untuk kembali ke rumah.

"Hey, Rul! Ayo pulang, sudah sore!" teriakku dari kejauhan.

"Kau saja, aku masih ingin bermain!" balasnya.

"Hey Ayo! Aku juga akan kena marah kalau kau tidak pulang juga!"

Fakhrul kemudian berenang mendekat, "Tunggu saja sampai Ibumu datang, baru kita kembali," ucapnya.

"Emangnya kamu mau kena sabetan sapu lidinya lagi?"

Fakhrul terlihat terpaksa, "Ya sudah, ayo kita balik."

Aku dan Fakhrul bersama-sama berenang kembali ke tepian pantai. Setelah sampai di tepian, kami segera berlari ke warung ibuku. Ku intip kegiatan di dalam melalui jendela bambu yang terbuka.

"Aman, Ibuku masih sibuk masak."

Fakhrul lalu memberikan acungan jempol, "Good."

Mengetahui bahwa Ibuku masih berada di dalam warung, kami segera pergi ke rumah masing-masing, mengganti pakaian kami, kemudian menyusulnya ke warung.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senja PantaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang