Introvert Girl

871 6 1
                                    

Raina masih menatap keluar jendela, menyaksikan rintikan hujan yang tak kunjung berhenti. Masih dengan segelas coklat hangat yang menjadi kesukaannya. Ini hujan kesekian yang membawanya terhanyut dalam lamunan masa lalu. Dia masih mengingat jelas kejadian 3 tahun yang lalu, saat dia masih menginjak usia 18 tahun. "Hujan!" rintih Raina sambil menghela nafas dalam-dalam.

Bayangan sosok lelaki yang pernah mengisi hari-harinya. Yang datang di saat Raina tengah menikmati sakitnya patah hati. Yah, Raina baru putus dari mantan kekasihnya yang juga kakak tingkatnya di sekolah. Lelaki itu, sahabat masa kecilnya saat di SD. Dia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan sosok itu. Sosok yang tak begitu diingatnya lagi, kecuali ketembeman masa kecilnya yang makin membuat Raina gemas.

1 missed call. Raina meraih handphonenya yang tergeletak di sudut tempat tidurnya. Beranjak dari depan jendela dan menghentikan sesaat aktivitas lamunannya. "Dia lagi, mau apa sih nih orang?" ucap Raina dengan kesal.

Belum sempat melangkah, Raina dikejutkan lagi oleh suara dering handphone yang menandakan ada sebuah pesan baru masuk. Raina meraih benda mungil itu dengan acuh, sambil membaca sekilas siapa pengirimnya. Dengan gugup, dia membuka pesan itu. "Kenapa harus dia sih yang sms? Kenapa bukan lelaki itu?" keluh Raina pedih.

"Raina, ini aku. Tolong angkat teleponku, ada yang penting." Gadis itu menautkan kedua alisnya tanda kebingungan. "Apaan sih yang penting? Lagian siapa dia coba." ucap Raina penuh kekesalan.

Tak lama kemudian telepon genggam itu berdering, Raina menekan tombol hijau di keypadnya.

"Halo! Kenapa sih? Ada perlu apa? Bukannya aku udah bilang kita gak ada hubungan apa-apa lagi? Kenapa kamu nelpon aku lagi?" cecar Raina tanpa jeda. Lelaki di seberang sana hanya menghela nafas panjang.

"Maaf Rai, aku gak maksud ganggu kamu. Tapi, ada hal yang ingin aku bicarain sama kamu. Bisa kita ketemu sekarang?" dengan lembut lelaki itu meminta.

"Gak, aku gak ada waktu buat ketemuan. Kalo mau bicara, yah udah bicara aja. Apa susahnya sih?"

"Tapi, aku gak mungkin jelasinnya di telpon Rai. Kita harus ketemu!" paksa lelaki itu.

"Aku gak mau. TITIK!" Raina menekan kata terakhirnya.

"Huft, yah udah. Aku cuma mau pamit sama kamu, sekalian mau ngasih hadiah perpisahan. Tapi yah udah kalo kamu gak mau ketemu. Ntar kadonya aku titipin ke Ila aja yah," jelas lelaki itu lembut.

"TERSERAH!" maki Raina.

Memang Raina terlanjur kesal dengan lelaki di seberang telepon itu. Dia sudah muak dengan sosok itu, walaupun sekedar menjawab teleponnya. Yah, kakak tingkatnya di SMA yang sekaligus mantan kekasihnya itu membuatnya marah setengah mati. Dia tahu kalo Raina menyayanginya, tetapi lelaki itu malah berselingkuh dengan sahabat Raina sendiri. Mencabik hati Raina dengan lubang yang tak terlihat.

Sosok Raina yang memang manis dan memiliki rambut hitam lurus sebahu membuat lelaki manapun yang melihatnya akan menyukainya seketika. Keceriaannya yang menular ke setiap orang yang ditemuinya. Tapi, mantan kekasihnya itu merubah sosok Raina yang periang jadi mudah kesal dengan orang. Dia, Zaki. Raina tidak menyangka kalau bakal melakukan perbuatan konyol saat di SMA dulu. Zaki dengan terang-terangan menggandeng sahabatnya dengan mesra di muka umum. Spontan membuat Raina naik pitam dan enggan berhubungan dengannya lagi. Walaupun kejadian itu sudah lama berlalu, Raina tetap mengingatnya dengan jelas.

Trauma Raina saat itu, membutakannya akan hal-hal sekitar. Termasuk fokus sekolahnya yang mulai mengusik Ila, salah satu sahabat terbaiknya. Raina selalu berbagi suka dan dukanya kepada Ila. Hal sekecil apapun selalu diceritakannya ke Ila, tak ada yang ditutupinya. Tapi, dalam hal itu, dia enggan untuk membahasnya dengan Ila. Dia menganggap kalau itu kepedihan buat dirinya sendiri. Sosoknya yang mulai berubah menjadi tertutup. Ila hanya mampu menghiburnya sesekali.

"Rai," tegur Bundanya.

"I...Iya Bun. Kenapa?" jawabnya kaget.

"Kamu ngelamunin apa sih? Kayaknya asik banget."

"Ah, gak kok Bun. Cuma lagi pusing aja mikirin kuliah. Huft, Rai belum bisa bahagiain Bunda ma Ayah juga," sahutnya sedih.

Bundanya hanya tersenyum sambil mengelus rambut indahnya. "Kamu jangan ngomong gitu ah, Bunda ma Ayah bahagia kok liat kamu bahagia. Gak kayak gini trus." Ibunya menggoda.

"Maksudnya Bun?" tanya Raina heran.

"Iya, kamu itu beda banget sekarang. Sejak tamat SMA sampe sekarang kayaknya kamu ogah banget kenal sama cowok."

"Bukan gitu Bun, cuma Raina masih pengen fokus kuliah aja."

"Tapi, bisakan kamu juga berteman dan memiliki teman?" tanya Bundanya menyelidik.

"Iya Bunda. Rai, coba yah," senyumnya.

"Kalo bisa, kamu sering jalan deh sama Ila. Bunda heran, sejak SMA kamu sama Ila jarang banget ketemu. Padahal dulu kemana-mana bareng. Kamu ada masalah sama Ila?"

"Gak kok Bun, mungkin karena sama-sama lagi sibuk aja kali," jawab Raina menghindar.

"Yah udah, kamu makanya jangan gini terus. Padahal kan Ila sering kesini, tapi kamunya jarang kan mau ketemu. Kamu terlalu beralasan terkadang untuk menghindari Ila."

"Maaf yah Bun, mungkin Raina memang lagi pengen nyendiri aja," senyum polos Raina terkembang.

Sang Bunda hanya bisa memeluk putrinya dan mencium puncak kepala putrinya dengan penuh sayang. Cuma kesedihan yang tak terucap yang masih disimpannya rapat-rapat.

Introvert GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang