Bunda POV
Raina masih menangis di pelukanku. Teriris rasanya hatiku melihat anak angkatku satu ini menangis sesenggukan. Yah, Raina bukanlah anak kandungku tapi aku sangat menyayanginya. Aku dan suamiku tidak dikarunia seorang anakpun setelah 20 tahun menikah. Ketika itu, aku melihat Raina tengah kebingungan di shelter busway. Dengan raut polosnya dia memukau pandanganku hingga aku jatuh cinta seketika dengannya. Raina, nama yang indah memang. Tapi, jalan kehidupannya tidak seindah namanya.
Dia melanjutkan studinya di kota ini, Yogyakarta. Awal perkenalanku 3 tahun yang lalu dengannya semakin mendekatkanku dengannya. Hingga kini, dia telah tinggal bersamaku dan Ayah. Raina cukup tertutup untuk ukuran seorang gadis remaja beranjak dewasa. Aku mengalami kesusahan ketika pertama kali mengenalnya, tapi sekarang dia menumpahkan segala cerita hidupnya kepadaku, Bundanya. Kesedihan dan kekerasan masa lalu yang mengubah cara pandangnya soal kebahagiaan.
Raina terlalu memikirkan masa lalunya. Dibesarkan tanpa kasih sayang penuh dari seorang ibu dan ayah tiri. Yah, Raina baru tau kalo ayah biologisnya tidak pernah sama sekali menikah dengan ibunya. Kenyataan yang memilukan memang, apalagi dia mengetahuinya dari orang lain. Sang ibu yang hanya memperhatikan sang adik tanpa mau berbagi kasih dengannya. Kekerasan pun kerap diterima oleh gadis manis nan cantik ini
"Bunda!" suara lembutnya mengagetkanku dari lamunan.
"Iya sayang, kenapa?" tanyaku dengan senyuman.
"Bunda ngelamunin apa? Raina nyusahin Bunda yah?"
"Gak kok sayang, Bunda cuma mikirin Ayah aja tadi."
"Oh, Raina mandi dulu yah Bun," aku hanya menganggukkan kepalaku.
Ini senja ke sekian Raina ditemani oleh hujan. Sosoknya yang menghangatkan keluarga kecilku walaupun hanya sekedar anak angkat. Sebenarnya keluarga kandung Raina tidak mengetahui bahwa Raina tinggal bersama kami disini. Karena memang sebenarnya Raina tidak ingin keluarganya mengusik keluargaku. Dari dialah aku tahu bagaimana perlakuan keluarga ibunya terhadap dia. Ketidakadilan yang diterimanya pun tak mampu terbayangkan olehku. Pernah suatu kali aku menjemputnya di bandara setelah Rai pulang dari rumahnya, aku mendapati lengan penuh lebam dan memar yang cukup parah.
Dengan lembutnya dia hanya memberikan senyuman yang mengartikan bahwa dia tak apa-apa. Aku hanya mampu menahan pilu di hati. Entah kenapa aku sangat menyayangi dan mencintainya sebagai anakku, begitupun suamiku. Raina tak pernah mengeluh sedikitpun akan kehidupan keluarganya, perlakuan kasar om dan tantenya bahkan sang nenek.
Dulu, tepatnya 2 tahun setelah aku mengenalnya dan mengajaknya tinggal bersama kami, Raina sempat menceritakan tentang keluarganya. Mulai dari dia yang harus tinggal bersama sang nenek karena sang ibu yang tidak ingin merawatnya lagi. Tentu saja sang nenek dengan setengah hati menerima Raina di rumahnya. Dengan pekerjaan rumah tangga yang menumpuk, Raina tetap tersenyum dan ikhlas menghadapi tingkah sang nenek. Tak ada waktu bermain untuknya. Inilah yang membuatku kasihan kepadanya. Tubuhnya yang bisa dikatakan kurus menggambarkan bagaimana susahnya kehidupannya dahulu bersama keluarganya.
Dari Raina juga aku tahu, bagaimana sang nenek menyalahkannya akan kematian sang kakek. Ucapan kasar sang nenek yang sering memanggilnya anak harampun dia terima sebagai makanan sehari-hari. Kasihan memang!
***
Raina POV
Aku terbangun dengan kepala yang cukup pusing. Ah, ini pasti gara-gara semalaman aku menangis. Entahlah, semenjak aku jauh dari keluargaku hidupku mulai tak tenang. Masih ada trauma masa lalu yang menghantuiku. Terkadang aku masih sering memimpikan bagaimana perlakuan kasar ibu dan keluarganya.
Bunda sering menasehatiku untuk sedikit berdamai dengan kehidupan masa laluku. Tapi, semua itu tidak gampang memang. Aku yang menjauh hanya karena tidak ingin menyusahkan keluargaku terlalu banyak. Untung ada Bunda yang sedikit meringankan bebanku dan membantuku disaat aku kesusahan. Bunda dan Ayah memang dua sosok yang sangat aku sayangi sekarang.
Aku melirik jam dinding yang masih pukul 4 pagi. Dengan sigap, aku melangkahkan kakiku ke dapur. Yah, aku ingin memasak untuk sarapan Ayah dan Bunda. Tidak ada salahnya sesekali membahagiakan Ayah Bunda dengan masakan alakadarku. Hahaha. Terakhir kali aku memasak ketika aku masih di kosan. Yup, aku tinggal sama Bunda sudah 1 tahun belakangan ini dan terlalu disibukkan dengan kegiatan perkuliahanku.
Sambil bersenandung kecil aku mengerahkan kemampuan memasakku. Tapi sialnya, kebiasaan lamaku muncul. Kecerobohanku yang selalu saja dengan mudahnya menabrak apapun di sekitarku. Bodoh yah. Hahaha! Bunda bilang aku diciptakan dengan kerusakan gravitasi pada tubuhku. Entahlah, itu lelucon Ayah dan Bunda untuk sekedar menghiburku.
Tidak lama aku dengar suara kaki yang mengarah ke dapur. Pasti Bunda dan Ayah yang terbangun karena suara berisik tadi. Huft, aku menarik napas panjang. Benarkan! Ayah menahan tawanya hingga mukanya berubah warna.
"Kamu mau atraksi yah Rai?" tanya Ayah sambil tersenyum lebar.
"Ha? Atraksi apaan Yah?" Bunda menyahut kebingungan.
"Itu Bunda gak liat? Raina jatuh sampe semua bahan masakannya terbang kemana-mana gitu. Kalo bukan atraksi apaan coba namanya." Bunda hanya tertawa kecil mendengar ucapan Ayah.
"Maaf yah Bun, tadi rencananya Rai pengen masakin sarapan buat Ayah Bunda. Yah, tapi gak taunya Raina malah nabrak itu," tunjukku ke salah satu kursi kecil yang ada di pinggiran dapur.
"Yah sudah, kamu bersihin aja semuanya yah. Bunda bantuin masaknya yah."
God, Bunda memang dewa penolong. Malaikat yang diciptakan Allah buatku. Gak pernah sekalipun aku melihat Bunda marah. Bunda, memang luar biasa buatku.
****
Maaf yah telat upload, soalnya lagi sibuk dengan beberapa penelitian. hehehe. dimaklumin yah, kan namanya juga mahasiswa. kemarin-kemarin udah niat upload sih, tapi modemnya aja yang ngadat. hahaha. susah emang kalo ngekos di daerah terisolir gini.
oh iya guys, happy reading lho yah ^_^
jangan lupa ninggalin jejak yah guys. ditunggu komen dan votenya :D