Aku tidak pernah benar-benar ingat kapan tepatnya aku mulai menaruh perhatian pada Wina, keponakanku. Beberapa tahun terakhir, aku mulai selalu terbayang wajah dan senyum nya yang polos dan juga lembut.
Wina adalah anak Mbak Riani, kakakku. Kakak angkatku. Dulu orang tuaku pernah tak sengaja berbincang mengenai Mbak Riani yang nyatanya bukan anak kandung mereka. Disitu aku kaget luar biasa. Tapi sepertinya Mbak Riani memang sudah tahu. Karena begitu aku mengadu masalah itu, Mbak Riani hanya tersenyum dan membelai kepalaku. Usia kami yang terpaut jauh menjadikan Mbak Riani layaknya ibuku sendiri. Mbak Riani bercerita kalau dulunya ia memang anak angkat yang di ambil dari sebuah panti asuhan karena Ibu yang kala itu sudah sepuluh tahun di usia pernikahan tak kunjung hamil. Ibu sudah pasrah, begitupun Ayah. Dan mereka memutuskan mengadopsi seorang anak kurang beruntung, yaitu Mbak Riani. Pikir mereka, jika memang tidak bisa mengasuh dan memberi kasih sayang untuk anak kandung, masih ada anak haus kasih sayang lain yang bisa menerima kasih sayang dari mereka. Walaupun beberapa tahun setelah mengadopsi Mbak Riani, Ibu akhirnya bisa hamil dan melahirkanku ke dunia.
Ketika Mbak Riani menikah dan kemudian melahirkan Wina di usia ke tiga puluh, aku ingat saat itu usia ku masih tujuh belas. Sudah nyaris kelulusan SMA. Wina adalah anak kesayangan keluarga kami, karena dia satu-satunya anak dan cucu yang diberikan Mbak Riani untuk Ayah dan Ibu. Apalagi aku yang tak kunjung menikah.
Harapan orang tuaku tentu saja aku segera menikah agar melengkapi kebahagiaan mereka di masa tua. Tapi sayang nya, harapan itu harus tertunda karena aku yang malah terpincut oleh kecantikan lugu milik Wina. Keponakan cantikku.
Usia Wina kini tujuh belas. Tapi sial, kecantikan Wina benar-benar menhipnotisku. Lekuk tubuhnya yang jenjang, belum lagi bokong dan payudaranya. Ya Tuhan, bahkan bintang majalah dewasa saja kalah dengan milik Wina. Tapi bedanya, Wina adalah anak yang sangat manis dan lugu. Dan aku yakin ia tak pernah menyerahkan kegadisannya pada siapapun.
Seperti saat ini, ketika aku sedang sibuk mengerjakan pekerjaanku, Wina tiba-tiba memasuki ruang kerjaku. Dengan wajah cemberut dan tanpa ragu segera mendesak diriku sebelum merebahkan kepalanya di pahaku. Posisi yang pas, karena memang aku bekerja di sofa alih-alih di meja.
"Hei, kenapa kok cemberut?"
Wina mendongak menatapku. Mataku menatap tajam lekuk leher manis Wina yang bermuara pada sesuatu di balik kancing seragam nya. Dua gundukan gemuk yang rasanya selalu haus ingin di jamah.
"Wina kesel, Om."
"Kesel kenapa?" Aku meninggalkan laptopku dan menyandarkan punggung ke sofa, dengan tanganku yang mengusap surai lembutnya.
Jemari Wina saling terikat dan bermain. Dengan wajah ragu, ia kembali menatapku. "Wina kesel soalnya selalu di ejek sama Sofia kalo Wina nggak pernah pacaran." Cicitnya.
Ah, khas remaja sekali. Mengejek untuk suatu hal remeh dan sekaligus menantang di balik ejekan itu. Entahlah, fase remaja itu menyebalkan bagiku. Mereka berisik, dan selalu menyombongkan apa yang pernah mereka rasakan jika ada teman seusia mereka yang belum pernah merasakan pengalaman seperti yang mereka rasakan. Belum lagi jika nantinya menantang untuk sebuah pembuktian, menganggap rivalnya lemah jika tak mampu membuktikan kalau temannya itu mampu memiliki pengalaman seperti dirinya.
"Lho, kan dulu ada Julio. Om pernah denger kamu telpon sama Julio."
Wina menggeleng. "Julio itu ngondek, Om. Dia suka Akbar daripada Wina." Bisiknya dengan wajah menggemaskan.
Aku diam-diam menyeringai. Baiklah, rupanya Julio bukan seseorang yang berpotensi menjadi sainganku. Dia hanya sekelumit remaja penyuka timun yang tak layak kuanggap saingan. Sejauh ini aku aman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey About Us
Short StoryWARNING 21+ BE WISE READER TERDAPAT ADEGAN DEWASA SECARA DETAIL KUMPULAN CERITA PENDEK DEWASA 21+