Nawang adalah anak yang rajin dan penurut. Tahun ini umurnya sepuluh tahun. Sejak kelas satu, peringkat dan semua nilainya selalu menjadi yang tertinggi di kelas maupun sekolah. Itu hal yang baik bagi dirinya dan keluarganya, tetapi banyak orang tua murid—terutama ayah dan ibu teman-teman sekelasnya—mengeluhkan hal itu. Mereka iri dan merasa prestasi Nawang terlalu mendominasi, sebab anak-anak mereka tidak pernah mendapat giliran menjadi yang terbaik. Bahkan, pada masa kenaikan kelas beberapa bulan lalu, cekcok sempat terjadi saat pembagian rapor berlangsung di kelas 4-B, kelas Nawang.
Seorang ibu yang suasana hatinya buruk setelah melihat hasil belajar anaknya tiba-tiba saja menuduh nilai-nilai Nawang dimanipulasi, terlebih Nawang adalah cucu teman kepala sekolah. Kakek Nawang memang berteman dengan Pak Kepala Sekolah, tetapi itu karena mereka sama-sama pernah menjadi anggota komunitas guru. Kakek Nawang, yang pada saat itu juga hadir di kelas sebagai wali Nawang, langsung saja membantah tanpa repot-repot menjaga sopan santun. Pria lanjut usia berbadan kurus yang hobi memakai kombinasi kemeja dan sarung itu tersinggung luar biasa, sebab ialah yang selama ini mengawasi kegiatan belajar Nawang di sekolah maupun rumah. Sebagai seorang pensiunan dosen, ia punya integritas di bidang pendidikan yang dijaganya dengan penuh dedikasi. Memanipulasi nilai adalah sikap rendahan yang mustahil dilakukannya, dan kalau pihak sekolah sungguh melakukan itu, ia justru akan memindahkan Nawang ke sekolah lain yang lebih baik.
"Tapi sekolah ini kan ndak kayak gitu, jadi terima saja hasil belajar anakmu itu! Didik dia dengan benar, jangan malah menyalahkan sekolah apalagi anak orang lain!" hardik Mbah Akung yang saat itu sudah dipegangi dua guru, berusaha ditenangkan dan dibawa keluar dari ruang kelas.
Mbah Akung memang orang yang keras di bidang pendidikan. Ia tumbuh dalam keluarga yang turun-temurun menjadi akademisi hebat, dan bersahabat dengan mendiang Opa—kakek Nawang dari pihak mamanya—yang pernah menjadi guru besar. Tak heran jika ia ingin Nawang, satu-satunya cucu laki-lakinya, menjadi anak yang pintar, aktif, dan berprestasi, agar suatu saat nanti bisa menduduki kursi kepemimpinan tertinggi di sebuah universitas. Ya, ia ingin Nawang menjadi rektor saat dewasa, mewujudkan cita-cita yang tak pernah diindahkan putranya sendiri—Yusuf, papa Nawang—dan mengabulkan doa sahabatnya—Opa—sebelum meninggal karena penyakit komplikasi.
Hanya saja, Nawang hanyalah seorang anak kelas empat SD yang Oktober nanti baru akan berumur sepuluh tahun. Sesungguhnya, ambisi kakeknya yang sangat visioner itu terlalu gigantik untuk ditanggung tubuh, pikiran, dan hati kecilnya.
*
"Akung, Nawang udah selesai belajarnya," kata Nawang sembari menutup buku latihan soal dengan semangat. Ia berdiri hendak meninggalkan meja lipat bergambar Transformers yang selalu diletakkan di pinggir pendopo, tak jauh dari lincak dan kursi goyang tempat Mbah Akung kerap menghabiskan waktu sambil mengobrol dengan tetangga atau teman-teman sesama pensiunannya yang datang berkunjung. Hari itu, Mbah Akung ditemani teman masa SMA-nya yang pernah bekerja di Dinas Pendidikan.
"Mau ke mana?" tanya Mbah Akung melihat Nawang menuruni undakan pendopo dan memakai sandal.
"Main, Akung. Udah ditungguin temen-temen di rumah Ichsan," jawab Nawang dengan nada yang tanpa sadar terdengar memohon ketimbang menyatakan.
"Memangnya soal-soal udah dikerjakan semua?"
"Udah, dong, Akung!" jawab Nawang bangga.
"Soal pilihan ganda?"
"Udah!"
"Soal uraian?"
"Udah juga!"
"Mana sini Akung lihat." Mbah Akung menyodorkan telapak tangannya. Nawang segera mengambil buku-bukunya dan memberikannya kepada sang kakek untuk diperiksa. Di matanya yang berwarna cokelat terang kuning keabuan—warisan dari keluarga Opa yang berdarah Belanda, tak terpancar sedikit pun rasa ragu maupun minder. Nawang percaya diri dengan semua jawaban soalnya, karena ia mengikuti petunjuk dan memberikan jawaban sesuai dengan materi yang sudah dijelaskan. Dengan begitu, ketepatan dari jawaban-jawabannya terukur dengan jelas, dan ia tak perlu lagi memikirkan benar atau salahnya. Sesuai dengan instruksi Mbah Akung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi yang Tak Pernah Pudar
Teen FictionKisah-kisah dari semesta Fantastic Five (F5) alias anak-anak pelangi kesayangan Ray Antariksa. Berisi berbagai cerita pendek dan cerita lepas yang mungkin berkaitan dengan cerita-cerita utama F5 (Planet Luna, Empat Pilar, Episode Dayan), mungkin jug...