UNREAL
"... Tak ada yang kebetulan, semua sudah diatur dan ditetapkan ..."
ENTAH sudah berapa lama, berjalan sendirian di tengah hutan belantara di bawah guyuran air hujan lengkap dengan dingin yang seakan menusuk tulang-tulang. Tanpa suara dia terus melangkah, tertatih mencari pijakan yang aman dan tidak licin.Hutan lebat yang tadinya hijau sepanjang mata memandang kini hanya nampak abu-abu karena kabut dan derasnya tetesan air hujan, semakin menyeramkan ketika tak ada secercah cahaya dari matahari karena tertutupi oleh awan-awan mengandung air itu.
Atau mungkin karna sekarang sudah hampir malam? "Gelap banget, gimana bisa keluar kalau jalurnya ga keliatan gini,"
Dia menghentikan langkahnya, "Daritadi jalan bukannya nemu titik terang malah tersesat lebih dalam." Napasnya semakin tak teratur, tubuhnya menggigil dan giginya bergemeletuk.
Hujan seakan tak ingin berhenti terus-menerus memberi air pada bumi, dingin yang awalnya tadi memberi sensasi segar kini bisa saja membekukan. Tidak bisakah mengerti bahwa saat ini dia hanya memakai mantel hujan tipis, bahkan baju yang dikenakan sudah basah di beberapa bagian.
Tinggal menunggu waktu untuknya masuk angin dan butuh kerokan.
Sebenarnya ini semua tidak akan dialaminya jika dia tak mengikuti rasa penasarannya. Bisikan-bisikan di kepala seakan menyuruh untuk belok langkah dan memasuki hutan ini, sendirian, tanpa memikirkan konsekuensi apapun.
Objek utama yang menjadi alasannya memasuki hutan ini-suara lembut mendayu memanggil namanya dari dalam hutan-tidak dapat ia temukan.
Jika dipikir-pikir bagaimana suara itu tahu namanya sedangkan ini pertama kali ia kemari?
"Jin apa setan, ya? yang manggil-manggil tadi?"
"Atau jangan-jangan siluman!"
Pertanyaan-pertanyaan nyeleneh tanpa jawaban itu cukup mengganggu pikirannya. Gobloknya lagi ngapain tadi sok-sokan nyari tu suara, harusnya diemin aja.
Seharusnya ia mematuhi aturan dan nasehat dari Navigator.
"Nanti saat perjalanan dari pos 3 menuju pos 4 membutuhkan tenaga ekstra, diharapkan untuk tetap berhati-hati dan tidak saling mendahului yang lain. Kanan kiri jalur ada hutan dan jurang, di area itu juga rawan longsor," Sang Navigator itu berujar pada semua pendaki, terutama Leader.
Beberapa pendaki mencatat sesuatu yang penting, seperti apa yang tidak boleh dan apa yang harus dilakukan saat mendaki.
"Jika kalian mendengar suara seperti memanggil nama abaikan saja, tetap berjalan lurus. Untuk Leader, tolong jaga komunikasi dan jangan sampai perjalanan kalian sepi tanpa obrolan, setidaknya satu dua kata agar tidak ada yang kosong pikirannya."
Pikiran kosong. Sekosong itu sampai tidak sadar telah berjalan sendirian.
Terpisah dari rombongan, hampir jatuh ke jurang dan kehilangan barang bawaan termasuk Handy Talkie yang menjadi alat komunikasi dia dan temannya. Lengkap sudah penderitaannya. Ya Allah ... aku ikhlas walau pengen nangis dikit.
Dia hanya anak yang baru saja merayakan ulang tahun ke-17 dan hadiahnya adalah mendapatkan izin untuk mendaki gunung impiannya.
Seharusnya ini menjadi momen terindah sekaligus pengalaman paling menyenangkan di hidupnya. Membayangkan betapa indahnya melihat matahari terbit atau terbenam dari puncak gunung dengan ketinggian 3.676 m dpl ini, lalu merekamnya sebagai bukti telah sukses mendaki.
Bisakah acara tersesat ini terjadi setelah menikmati pemandangan indah terbit dan terbenamnya matahari? Setidaknya, sampai ia tahu bagaimana wujud dari atap pulau jawa.
Sudahlah. Semua sudah terjadi, menyesal pun tak ada gunanya jadi terima saja.
Untuk saat ini ia hanya berharap sedikit redanya hujan. Takut tanah tak mampu lagi menyerap air hujan, lalu kemungkinan buruk yang terjadi adalah longsor.
--
Dingin ...
Gelapnya malam menelan tubuh yang meringkuk kedinginan. Alam seakan menghukumnya. Tetesan-tetesan air hujan itu terasa seperti peluru, ribuan peluru.
Terdiam kaku, bibirnya membiru, kulitnya menjadi sepucat salju. Tak mampu lagi bersuara, bahkan bernapas pun susah.
Hipotermia, dugaannya.
Dia tahu apa yang terjadi jika Hipotermia tak segera ditangani.
Berpeluk tubuh mengharapkan kehangatan walau hanya angan. Karena pada nyatanya ia sendirian, tak ada tangan yang menawarkan bantuan, atau memeluknya erat untuk menaikkan suhu badan.
Pelukan. Ia butuh sebuah pelukan, juga kata-kata dorongan untuk tetap sadar dan bertahan.
Masih adakah harapan?
Pertolongan?
Ya Allah ... aku-
Perlahan ia menengadah ke langit, gelap, seperti tak ada harapan.
Cukup lama dipandangnya, entah mencari apa. Mungkin bintang? Atau bulan? Tapi awan-awan itu tetap pada posisinya, menutupi keindahan langit malam yang seharusnya bertabur bintang.
Hanya menutupi.
Maka jika awan itu hilang, langit malam yang indah akan terlihat. Masih ada harapan.
Bibir biru pucat itu membentuk sebuah senyuman. Dalam hati memberi semangat pada diri, bukan saatnya untuk mati.
Ya! Masih ada harapan walau sekecil biji selasih.
Aku tak sendiri!
Bertahan sebentar lagi, jangan mati.
____
@anyingu Sept 2023
Apa ya??😞
KAMU SEDANG MEMBACA
UNREAL
Historical FictionSelama ini baik-baik saja, semua berjalan sesuai arahnya, hidup tentram tanpa gangguan. Dunia yang damai untuknya, hanya harus tetap berjalan untuk hidup dan menikmati apa yang ada. Sampai ketika nalar tak lagi berguna, berharap tak nyata walau netr...