49. Saat Terakhir

2.8K 246 21
                                    









Nada tidak pernah berharap mengenal keluarga Adhiyaksa --apalagi menjadi bagian dari mereka. Namun, Tuhan menuliskan alur tak terduga pada dongengnya. Yang tidak ia harapkan justru kejadian. Jika bagi orang-orang, menjadi bagian dari Adhiyaksa adalah impian, maka tidak untuk Nada. Ditambah alasan ia menikah dengan sulung Adhiyaksa demi seratus juta juga perjanjian yang mereka sepakati. Meski Nada akui, ia sempat baper dengan perlakuan Janu selama tinggal seatap dengan pria itu. Bahkan mereka pernah beberapa malam tidur sekamar --malah seranjang-- karena si resek Jovan sering nginep. Yang katanya diusir Bang Joni karena ngatain bapaknya caleg gagal lah, mau jagain Klenting Kuning dari Yuyu Kangkang lah, dan masih banyak alasan konyol yang cowok itu lontarkan.

Kembali pada Nada, wanita cantik yang dua bulan lagi berusia 26 tahun itu beranjak duduk di kursi tunggu, menanti Joni yang tengah berbicara serius dengan dokter. Dan Nimaz yang sedari tadi bungkam, tahu-tahu mendekatkan bibir ke telinga Nada 'tuk berbisik, "Mau ngapain lagi sih mantan mertuamu itu?"

"Aku nggak tahu, Bu. Tapi semoga aja Mami Ify nggak kenapa-napa," balas Nada.

"Aamiin," angguk Nimaz.

"Ibu udah ngabarin Bapak?" tanya Nada, setengah berbisik.

"Udah," jawab Nimaz, pendek, lalu melongokkan kepala sebelum kemudian menatap putri sulungnya lagi. "Nad," panggilnya, pelan, yang dibalas Nada dengan gumaman kecil. "Kenapa Pak Joni ngehubungin kamu dulu? Ya maksudnya ... meskipun ada yang mau dibicarakan, alangkah baiknya ngasih tahu anak-anaknya dulu. Ibu takutnya Janu sama adek-adeknya salah paham sama kamu."

Nada sependapat, tapi dia bisa apa? Toh, dia jauh-jauh dari Bandung ke Jakarta pun karena amanat. "Nggak tahu lah, Bu." Kedua bahunya terangkat dengan ekspresi lelah. Segera Nimaz menenangkan lewat usapan di punggung. "Aku kadang juga bingung. Keluarga ini selalu baik sama aku, walaupun aku pernah ngecewain mereka. Jadi ya, anggap aja ini bentuk balas budiku untuk kebaikan mereka."

"Memang setiap kebaikan selalu mendatangkan kebaikan lainnya. Tapi membalas kebaikan karena rasa bersalah atau sebagai bentuk balas budi, bukan bagian dari timbal balik," tutur Nimaz, lembut tapi tegas. "Itu namanya belas kasih."

"Bu ..."

"Nggak cuma keluarga Adhiyaksa aja yang kecewa, Nad, ibu-bapakmu pun sama," lanjut Nimaz, menyorot lekat figur Nada. "Sekarang gini ... kamu 'kan sudah dewasa, sudah bisa memilih. Kalaupun kamu masih mau sendiri, nggak masalah. Tapi kamu harus bisa tegas. Jangan bersikap seolah-olah kamu ngasih harapan ke Janu atau malah kamu yang berharap lagi ke dia?" Tersirat nada menuduh dalam suaranya.

Bergegas Nada membantah sambil disertai gelengan. "Aku nggak mau berharap sama siapapun, Bu. Karena titik fokusku sekarang cuma Eila," tandas Nada, dengan bibir menukik getir. "Mas Janu juga pernah bilang dia nggak akan nikah lagi. Dia udah cukup punya Eila. Jadi aku rasa, nggak ada yang perlu diperjelas soal hubunganku dan Mas Janu. Kami sama-sama orang tua Eila yang berusaha akur di depan dia."

"Kamu nggak pengin punya pendamping lagi?" pancing Nimaz, menaikkan satu alis. "Ya minimal yang bisa jagain kamu dan Eila, karena Bapak dan Ibu nggak selamanya ada di samping kalian."

"Aku nggak sendiri, Bu. Ada Mas Janu yang bakal jadi sayapnya Eila selain aku," ujar Nada. "Sekalipun nanti salah satu sayap Eila lepas, aku bakal tetap jadi sayapnya yang nggak akan ngebiarin dia terbang sendirian."

Repair [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang