Depok, 2002.
Sebuah mobil truk datang diikuti sepeda motor, dan berhenti tepat di depan rumah dengan halaman minimalis berpohon kelengkeng kecil. Mobil itu mengangkut barang-barang seperti lemari, tempat tidur, serta barang-barang rumahan lainnya. Sepertinya akan ada penghuni baru di rumah yang sudah kosong hampir tiga bulan tersebut.
Seorang anak kecil sekitar kelas tiga SD turun dari pintu depan mobil truk dibantu seorang pria yang menyusul dengan sepeda motor tadi. Dengan tatapan malu-malu, ia melirik ke arah bocah yang berada di teras rumah sebrang rumah barunya. Tak ada sapaan, bahkan sekadar senyum, hanya saling melempar tatapan asing, lalu berpisah.
Beberapa warga ikut membantu proses pemindahan barang-barang dari mobil truk ke dalam rumah. Si anak baru hanya diam dan menatap si anak di sebrang rumahnya dari balik jendela. Seperti ingin berkenalan, tetapi tak memiliki keberanian.
Singkat cerita, tak terasa sore pun tiba. Keadaan rumah yang kedatangan penghuni barunya tersebut sudah hampir rapi, tinggal membereskan beberapa perintilan kecil saja, lalu ... sempurna.
Si anak baru itu sedang berdiri sambil menghadap jendela, memandang ke arah rumah di sebrang. Banyak anak-anak sepantarannya sedang bermain di beranda rumah itu.
"Ja, tolong kasih ini ke rumahnya Aan." Sang ibu memberikan sebuah mangkok berisi makanan.
"Aan?" Anak itu memicing.
Si ibu menunjuk rumah di sebrang. "Rumahnya Bu Endang. Aan itu anaknya, sekalian kamu kenalan gih. Biar punya temen."
Si anak berkulit putih dengan wajah good looking itu meneguk ludah. Ia bukan tipikal anak yang mudah bergaul, sebab ia pemalu. Satu hal lagi, ia cadel huruf R sehingga tak mampu menyebut namanya sendiri dengan benar. Ia dipanggil Eja, karena tak bisa berucap Erza.
"Mama aja," ucap Erza.
Mama tersenyum. "Biar kamu berani. Sampe kapan mau sendirian? Kamu sejak tadi merhatiin anak-anak yang lagi main di rumah Aan, kan? Sana ikut main."
Erza pun memberanikan diri membawa makanan untuk Bu Endang yang tinggal di sebrang rumah. Semakin langkahnya mendekat, jantungnya pun ikut berdebar kencang. Melihat gerombolan anak-anak di teras rumah itu membuat traumanya mengintip dari balik benak. Bekas luka jahitan di keningnya berkedut-kedut memberontak, seolah menolak untuk dilupakan, bahwa anak itu merupakan korban bullying d lingkungan lamanya.
"Assalamualaikum," ucap Erza kecil.
"Waalaikumsalam," jawab Bu Endang dan anak-anak sebaya yang sedang bermain catur di teras.
"Ini dari mama." Erza memberikan mangkuk yang ia bawa pada Bu Endang.
"Makasih ya," ucap Bu Endang.
Ketika bocah itu memutar tubuhnya, hendak langsung pergi. Tiba-tiba suara itu membuat langkahnya terhenti sejenak.
"Sini ikutan main," ucap anak berkulit sawo kematengan dengan rambut keriting seperti ganja kering.
Erza memasang wajah murung. "Aku enggak bisa main catur."
"Nanti diajalin." Bocah itu bergeser, memberikan giliran pada Erza untuk langsung bermain.
Semua anak antusias menyambut Erza dan memberkan vibes positif sehingga tanpa sadar senyum tipis akibat penerimaan itu hadir. Erza duduk di depan papan catur di kelilingi anak-anak lain. Sesuatu yang sederhana, tetapi baru ia dapatkan di sini.
"Ca-ca-cala mainnya gimana?" tanya Erza yang malu karena cadel.
"Ini cala jalannya gini." Bocah keriting itu mengajarkan Erza hingga ia memenangkan permainan catur kala itu.
Ekspresi girang pun singgah di wajahnya. Hingga pada satu titik sebuah tangan terjulur mengajaknya bersalaman.
"Nama kamu siapa? Aku Aan," ucap bocah bernama asli Farhan itu yang sebenarnya juga tak bisa melafalkan namanya sendiri dengan benar karena cadel huruf R.
Erza tersenyum, ia menjabat tangan Farhan. "Eja. Salam kenal."
Sejak saat itu, Farhan dan Erza menjadi sahabat dekat yang selalu bersama seperti biji bunga matahari. Setidaknya mereka berdua tahu, bahwa ada manusia lain yang memiliki kekurangan yang sama.
—— PROLOG ——
Selamat datang dan selamat membaca kisah yang diangkat dari true story ini, meskipun ya ada bumbu fiksinya sih biar SEDAP. Semoga kedepannya bisa banyak bermanfaat dan mengspirasi pembaca dengan pengalaman hidup Author dan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Ambil yang bermanfat, dan buang jauh-jauh yang begitu dah.
Perlu ditekankan, bahwa meskipun tokoh-tokoh di dalam kisah ini diambil dari kisah nyata, tetapi tetap disamarkan identitas aslinya.
Salam hangat, Manta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kopi Susu
Teen FictionSetiap individu adalah biji kopi yang unik. Seperti kopi yang membutuhkan susu untuk menciptakan keselarasan rasa, kehidupan juga menjadi lebih kaya saat kita menerima perbedaan. 'Kopi Susu' adalah cerita yang mengajarkan kita untuk merangkul perbed...