Prolog-

43 5 2
                                    

Rintik hujan yang kini sedang membasahi kota Jakarta, seakan ikut menemani duka bagi sang Nahen.
Pemuda berumur remaja itu bahkan masih setia melangkahkan kaki jenjangnya yang berbalut celana hitam pendek.
Nahen menghentikan jejaknya, sendal jepit yang ia gunakan itu masih setia terpasang guna melindungi telapak kakinya yang besar.

Ia mendongakkan kepalanya, netranya masih terfokus kearah langit malam yang yang tak berbintang itu, ia sedikit menerbitkan senyumannya kala angin damai mulai menyerbu tubuh kurusnya.

Nahen menoleh kekanan, sedikit rangsangan kenangan yang pernah ia lalui bersama Rahen mulai melewati otaknya kembali.
Dapat ia lihat, puluhan tangga yang masih terbentuk sama, seakan tak ingin menghapus banyaknya masa yang tertinggal bagi setiap orang yang melewati tangga tersebut.

Setelah beberapa detik ia menatap langit malam, manik cokelat nya kembali terfokus kearah tempat dimana ia dan sang kakak pernah membuat cerita bersama.

Rintik hujan yang bermula gerimis, kini semakin deras bersamaan dengan senyuman Nahen yang sedikit terbit.
Ia merentangkan tangannya, meresapi jutaan titik hujan yang telah membuat kaos putih pendeknya itu sudah basah terguyur.

Kedua mata indahnya terpejam, Nahen menghirup nafasnya dalam-dalam hingga aroma tanah yang basah mulai menyeruak kedalam jiwanya.

Langkah demi langkah Nahen lalui dengan perlahan, ia menghentikan pijakannya kala tangga yang mempunyai posisi tengah itu sudah ia tempati, ia membuka pandangannya.

"Nahen rindu Abang.." Monolognya, manik cokelat itu mulai terasa panas saat beberapa air hujan menyerang tatapan indahnya.

Beberapa detik Nahen berdiam diri disana, mengingat banyaknya kebahagiaan yang tak akan bisa terulang kembali.
Ia memblokir niatannya untuk pergi dari tempat itu, sebelum satu tepukan yang bertengger di pundaknya membuat sang empu menoleh.

Kedua mata Nahen membola besar, betapa terkejutnya remaja itu melihat satu ogok manusia yang kini sedang berada dihadapannya itu.
Pria itu tersenyum, senyuman teduh yang hanya ia miliki dan ia perlihatkan untuk adik tercintanya.

"Abang!" Pekik Nahen, ia memeluk erat tubuh kurus Abangnya itu, rasa bahagia dan rindu yang bersatu didalam diri Nahen seakan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Setelah ber puas dia memeluk Rahen, Nahen menatap dengan Lamat pria tampan itu.
"Gimana kabarnya? Baik, kan?" Tanya lembut Rahen yang membuat sebuah anggukan otomatis dari Nahen.

Rahen mengudarakan sedikit tawa ringannya, tangan putihnya terayun untuk mengelus surai cokelat yang sudah lepek terguyur air hujan.

"Mau main ujan-ujanan?" Nahen kembali mengangguk, ia tak bisa mengeluarkan jutaan kalimat yang tertahan, karena perasaan tertahan yang kini sudah membuncah.

Banyaknya menit sudah mereka lalui dengan puluhan tawa, mereka berdua menari indah dibawah jutaan hujan dengan suara tawa yang mengiringi kebahagiaan keduanya.

Nahen menatap wajah tenang sang empu, ia sungguh tak mengira bahwa kenangan yang sudah terlewat akan terjadi kembali.

Rahen menarik pergelangan tangan Nahen kearah ujung tangga yang sudah basah tak terkira.
"Nahen.." Panggil Rahen, Nahen menatap sang empu yang masih terfokus kearahnya.
"Ya?" Rahen tersenyum, mendengar argumen yang keluar dari bibir tipis sang adik.

"Nahen baik-baik kan disini? Abang sama Bunda juga baik-baik kok.." Ujar Rahen dengan suara tenangnya, walau rintik hujan masih menyertai antero mereka berdua, tetapi suara indah yang mengalun dari Rahen masih terdengar jelas di rungu Nahen.

Nahen mengangguk, menyetujui argumen yang Rahen tanyakan untuk dirinya.
Rahen kembali tersenyum, beberapa detik ia tatap intens ukiran indah milik Nahen, sungguh ia sangat merindukan adiknya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Anakarsa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang