Beruntung

1 0 0
                                        

Beruntungnya aku.
Kalau tak kupaksa diriku menetap di tempat itu, tak akan kudapat pendirian ini.

Beruntungnya aku.
Kalau tak kudengarkan, tak kupahami baik-baik kala itu, apa jadinya diriku hari ini.

Kehilangan Ibunda tercintaku, separuh jiwa ragaku, rasanya duniaku goyah, hilang tempatku berpijak, hilang tempatku bersandar. Apa dayaku, apa yang aku harus lakukan agar bertahan?

Sulit sekali rasanya. Sakit, sesak sekali dada ini.
Tak boleh, tak boleh menangis. Tak boleh.
Nanti Ibunda terbebani, tahan tangismu, biar Ibunda tenang menuju perjalanan selanjutnya.

Tapi sesak, sesak sekali. Tak tau harus kuapakan diri ini agar tak sesak lagi didada.
Menangislah, bisikan dari sekitar datang padaku. Tak apa, menangislah.
Ingin menangis, tapi tak bisa. Dalam diriku berteriak, jangan menangis! Jangan! Tak boleh!!
Pikiranku bingung, otakku bekerja mencari jawaban, apa yang harus kulakukan, apa?

Akhirnya hanya sesak yang bertambah, tak keluar isakan dari mulutku, hanya buliran hangat yang terus mengucur tak bisa kuhentikan.

Kupandangi Ibunda. Otakku berputar, mencari-cari kata, alasan, mengapa kupandangi wajah Ibunda?
Bisikan datang, lihatlah wajah Ibunda, untuk terakhir kali, besok tak bisa lagi.
Tapi tak kutemukan alasan setelah otakku berkutat didalam sana, tapi tetap kupandangi dari kejauhan, wajah Ibunda yang selama ini selalu antusias melihatku, terlihat seperti sedang tertidur lelap ditiap malam ketika kucari di tengah malam dikala rindu. Damai, mendefinisikan Ibundaku memang sedang beristirahat. Istirahat sebelum menuju perjalanan berikutnya, yang tak lagi sama denganku.

Kalau tak ingat semua nasihat guruku, apa jadinya aku saat ini.
Ibunda selalu kusebut dalam setiap doaku, setiap sujudku, tak kuucapkan hal lain sebelum kuminta Ibunda sehat lagi, bahagia lagi, tak pernah terlewat sekalipun.
Waktu mustajab kugunakan meminta kesehatan Ibundaku dikembalikan, hanya itu. Setiap waktu, setiap terbersit dibenak akan Ibunda, selalu kupanjatkan pinta pada Yang Maha Mendengar.

3 tahun. Selalu kupanjatkan pinta yang sama pada Yang Maha Menyembuhkan. Tak pernah bosan apalagi lupa. Tak pernah. Karena kuyakin, Yang Maha Pemurah akan mengabulkan doaku, aku yakin itu.

Hampir kumenyerah. Tapi kucari semangat lagi. Meminta didoakan oleh sahabat-sahabatku yang berada di negeri para nabi. Berharap doa disana lebih dahulu didengar.

Tatkala salah seorang sahabatku berkata, doaku selalu tercurah untuk Ibunda, hatiku senang tak terkira Ibunda didoakan dengan baik.
Kata selanjutnya membuat hatiku sakit. Tapi, aku disuruh ikhlas katanya.
Marah, sangat marah hatiku, perih. Hanya kumintai tolong mendoakan Ibunda agar diberikan kesehatan tapi malah.. hah, apa katanya? Ikhlas? Jelas Ibundaku kala itu masih selalu aku taruh harapan, selalu kuyakini, kuharapkan kesembuhannya, kebersamaannya denganku, tapi apa katanya? Ikhlas? Tidak mungkin. Hatiku menentang keras perkataannya, aku yakin Ibunda akan sembuh, aku yakin.

Sebulan setelahnya, apa yang terjadi? Ibunda semakin jauh dari kata baik. Aku bahkan hampir tak kenal Ibunda, penampilannya, cara bicaranya, kebiasaannya, semua tak lagi sama dengan yang selalu terpatri dalam ingatanku, tak sama lagi. Bagaimana ini... otakku sepertinya sudah terdoktrin kata Ikhlaskan.. tapi hatiku masih menolak, sangat menolak.

Hari berganti hari, lalu berganti minggu. Siang itu. Ketika sedang mencoba khusyu dalam shalat dzuhur, kudengar tangisan pecah dari arah pintu. Mencoba tak hiraukan tapi kata selanjutnya yang berusaha tak kudengar tetap terdengar jelas ditelingaku. Ibundaku, sudah tiada.
Dalam shalat kusangkal, ku coba khusyu kembali, tak bisa ternyata.
Langit rasanya runtuh kepundakku, kalau tak ingat sedang shalat, mungkin aku sudah terjatuh tak berdaya, tapi kutahan kakiku yang melemah, berusaha menyelesaikan ibadahku sembari masih membisikkan doa pada Yang Maha Pemurah, bukan, bukan Ibunda, bukan, Ibunda baik-baik saja dan akan selalu baik, menua dalam pengawasanku.

Tetapi ternyata tidak. Doaku tak terkabul. Tidak sama sekali. Ibundaku, sudah tiada. Ibundaku tak akan lagi bisa menjawab salamku, mencium pipiku ketika akan tidur, Ibunda, sudah pergi. Pergi. Menuju perjalanan selanjutnya.

Beruntungnya aku. Pendirian yang entah kapan bisa tepatri sangat kokoh pada diriku. Menguatkanku, menyadarkanku.

Kalau tak ingat aku masih punya Allah. Entah apa jadinya aku. Rasanya sudah semua doa sudah semua upaya kulakukan. Entah apa sudah tidak akan percaya lagi diriku pada doa. Tetapi tidak.
Ternyata kata ikhlaskan yang tak ingin kulakukan itu, sudah diam-diam terpatri dalam diriku. Di alam bawah sadarku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Me and My SelfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang