Jika diri ku adalah awal, aku mau diri mu menjadi yang terakhir.
*****
Gadis cantik itu masih bersembunyi di bawah selimut tebalnya, cercah cahaya yang merangsek lewat celah - celah kecil di jendela seolah membawa serta hawa hangat yang yang memeluknya makin ramai di alam mimpi.
Bunyi alarm seolah menjadi lullaby indah yang membuatnya semakin tersenyum dalam alam mimpinya, seperti helaian dandelion yang terbawa angin, semuanya indah ringan mengalir tanpa beban dan sang gadis suka dengan perasaan itu.
"Bintaang bangun!". Suara memekik itu akhirnya mampu membawa bintang kembali ke dunia. Dunia yang penuh dengan tekanan dan tantangan, sebenarnya bintang tak terlalu menyukai itu. " Jam berapa? " Jawabnya malas.
"Ini sudah jam sembilan lewat bintang". Responnya si pemilik suara seolah agar teman satu kamarnya itu segera sadar bahwa dunia yang kejam akan segera melahapnya.
" Apaaa? ". Jatung bintang rasanya sudah terjun ke lutut. " Bagaimana bisa?, kok kamu gak bangunin aku sih? " Beonya sambil kaki sudah melangkah lebar ke kamar mandi dan tangan dengan gesit meraih handuk yang tergantung di belakang pintu.
Benar saja tak genap 10 menit , gadis dengan surai panjang hingga mampu menutupi seluruh punggungnya yang ringkih itu mampu menyelesaikan segala macam ritual berangkat ke kampus.
Tentu saja tanpa mandi, hanya cukup gosok gigi dan mengelap cepat mukanya, hanya untuk menghilangkan jejak ilernya. Untung temannya itu baik hati, dia sudah menyiapkan satu setel baju di atas kasurnya. Jadi dia tak perlu lama - lama buka lemari dan memilih baju.
"Terimakasih Kinan, aku akan mentraktir mu telor ceplok spesial nanti malem" Ucapnya sambil sudah melenggang meninggalkan pintu asramanya.
Bintang, gadis itu lari seolah dia adalah sang pengendali bumi langit dan angin. Rambutnya yang di sisir asal memakai jari melambai lambai seolah bersatu dengan alam.
Tak di perdulikan lagi segala jenis tatapan orang yang ia lewati, baginya sekarang kelasnya yang ada di lantai tiga gedung fakultas ekonomi itulah yang terpenting. Andai saja dia punya jurus menghilang, pasti sudah dari tadi ia gunakan.
Bagaimana tidak, hari ini tepat setengah jam lebih yang lalu kelasnya sudah di mulai, dan di isi oleh dosen super duper kiler. Yang kalau telat lima menit aja udah di suruh bikin makalah setebal make up nya Raina, si gadis pemilik muka menor sekampus.
"Tamat sudah riwayat ku, ini semua gara - gara Embun". Gumamnya sambil berusaha meraup sebanyak banyaknya oksigen di sekitarnya. " Awas saja, kalau dia besok- besok ngasih aku file drama, gak bakalan aku tonton, mending langsung ku lempar aja tuh flashdisk ke muka dia. " Gerutunya sambil menataki lantai demi lantai fakultas ekonomi.
Sampai - sampai tanggapun jadi sasaran amukan dia, " Ini tangga kenapa jadi banyak banget sih? "
"Kenapa jadi gak sampai - sampai gini? " Kesalnya.Hingga langkah kaki terakhir membawanya ke depan pintu kelas, jantungnya serasa sudah seperti genderang yang di tabuh pertanda perang akan segera di mulai.
Dia berdiri sebentar, merapikan sedikit penampilannya yang berantakan tak karuan, sambil mengatur ulang kembali nafasnya, agar tidak di sangka habis mengejar maling. Padahal tadi misal balap lari sama maling, pasti dialah pemenangnya.
Di ayunnya pintu yang tertutup rapat di depannya, ketika kakinya berhasil masuk, seolah atmosfer kutup utama berpindah ke kelasnya. Semua mata yang memandangnya seolah siap mengoyak setiap jengkal tubuhnya. Apalagi Profesor yang sekarang sedang berdiri tak jauh dari hadapannya. Beliau menatapnya seolah beruang kutub yang siap menerkam ikan kecil hasil tangkapannya.