three marks of existence

162 19 9
                                    

Ada sebuah pohon di belakang rumah barunya.

Pohonnya rindang. Bunga merah jambu mekar sepanjang musim ini, musim gugur. Fredrinn membolak-balikkan buku ensiklopedia guna mencari tahu pohon itu—pohon yang membuatnya seketika menyukai rumah barunya di antah-berantah ini. Tidak ada tetangga yang mengusiknya, tidak ada jalanan umum tempat orang-orang balapan liar—hanya ada lapangan bebas sepanjang mata memandang.

Tempat yang sempurna untuk menghabisi hari-hari liburnya. Hanya dirinya, seorang diri.

Magnolia mekar di belakang rumahnya. Merah jambu berserakan di atas hamparan rumput. Ia teringat dengan wanita yang menjual rumah ini padanya—ia memiliki rumpun rambut berwarna senada pada poninya, senyuman lebar saat menceritakan tentang rumah peristirahatan keluarganya. Ia tidak bertanya mengapa sorot matanya nampak sedih; ia tahu wanita itu memiliki alasan untuk menjual suatu warisan yang amat berharga baginya.

Hari itu adalah hari biasa.

Matahari bersinar di atas langit, suhu udara membuat peluh mengalir, bersusah payah membersihkan rumah barunya hingga ia merasa nyaman untuk tinggal di dalamnya. Ketika itu, ia mendengar suara raungan. Melihat keluar jendela, seekor anjing melompati pagar kawat yang membatasi rumahnya dengan hampar lapangan di luar.

Kakinya tersangkut, dan ia meronta, mencari perhatian dengan meraung sejadi-jadinya. Mungkin menyakitkan.

Fredrinn mengacak kotak perkakasnya, mencari gunting kawat yang dapat membantu anjing itu untuk keluar dari masalah kecilnya. Ia pikir ia akan membuat pagar kayu mengitari rumah barunya, lebih ramah pada binatang-binatang yang tinggal di sekitar sini. Mungkin pintu kecil untuk anjing-anjing liar pada pagarnya, agar mereka dapat merasakan bahwa rumah ini adalah rumah mereka juga.

Ia tidak menemukan gunting kawat. Fredrinn menghela napas. Berjalan ke gudang, ia menemukan sebuah kapak. Berkarat pada mata pisaunya—ada corak kecokelatan yang tersisa pada pegangannya, bekas kotoran yang tidak dibersihkan secara teliti. Apa boleh buat. Ia menghampiri anjing itu dan pagar yang sebentar lagi akan ia rusak untuk membebaskan anjing itu.

Tangannya mengusap kepala anjing itu—anjing tua, Fredrinn iba, matanya tidak lagi teliti; putih mengabuti irisnya. Ia meraung, mendekatkan kepalanya pada sentuhan Fredrinn.

"Jangan bergerak."

Ia lantas mengayunkan kapaknya turun pada batang kayu tua yang menopang rumpun kawat itu—tetapi berhenti ketika ia mendengar anjing itu meraung, ketakutan. Ia berlutut, mendekatkan tangannya pada anjing itu.

"Oke, kita coba undur belitannya pelan-pelan, kalau begitu."

Tangannya terluka dalam proses demikian, tetapi anjing itu akhirnya terbebas dari masalahnya. Ia lari meninggalkan Fredrinn, tidak sekalipun menoleh kembali padanya. Fredrinn menoleh pada pohon rindang itu—tangannya menggenggam kapak yang tidak akan ia gunakan sama sekali.

Matahari bersinar terik di atas kepalanya, tangannya terluka—ia tidak merasa sakit, sedikit obat merah akan mengobati lukanya. Mengamati magnolia yang mekar, ia diingatkan dengan wanita pemilik rumah ini terdahulu—

"Hei."

Fredrinn melangkah mundur. Ia memutar tubuhnya, mencari-cari sumber suara yang gaib asalnya.

Hari itu adalah hari biasa, seorang pria yang menyembunyikan tubuhnya di balik pohon mengintip.

"'Hei' matamu." Bibirnya mengering, pria itu melangkah maju dari tempat persembunyiannya. Wajahnya familiar, namun ia tidak tahu persis di mana ia pernah melihat wajahnya. "Keluar dari propertiku."

Pria itu berdiri di depan pohon yang mekar, bunga-bunganya rontok diterbangkan angin yang bertiup keras. Ia memasang tubuhnya di depan pohon itu—anginnya bertiup semakin menjadi, namun pria itu bergeming, surai birunya tidak tertiup angin, bunga-bunga magnolia terbang berhamburan. Iris birunya memancarkan kesedihan, nyaris sama dengan wanita itu.

anicca, anatta, dukkha | Fredrinn/Xavier.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang