Purnama pertama di musim semi sebelum dimulainya satu dekade kisah cinta ini.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Dentingan nyaring cangkir sake yang saling beradu bergema di salah satu bilik Okiya paling terkenal di Distrik Asakusa.
Jeno, selama 17 tahun hidupnya untuk pertama kalinya menginjakan kaki diruangan seperti ini. Setelah perangnya bersama aliansi Daimyo dari selatan Jepang. Sebuah kemenangan membawa mereka pada pesta dekat dengan penginapan terdekat. Melepas penat sekaligus hasrat. Begitu kata panglimanya.
Ia selalu diajarkan bahwa semua orang itu setara. Dimana ia harus saling menghormati atas hal hidup masing-masing nya. Tapi di sini, ia manusia bahkan saling memperbudak.
Sayup-sayup ia dengar langkah-langkah kaki yang halus di lantai kayu koridor luar. Lima orang geisha masuk. Bau mereka seperti bunga-bunga yang bermekaran. Juga tercampur bau apel madu kesukaannya disana.
Sorak sorai para samurai di ruangan itu terdengar begitu lima kecantikan itu ada di sana. Saatnya mengambil mangsa masing-masing.
"Saya persembahkan untuk Dana-sama sekalian darah muda yang baru menyelesaikan pelatihnnya." Ujar sang pemilik okiya.
Lagi, sorak sorai itu terdengar lebih keras. Ditengah kebisingam yang beradu, mata elang Jeno bersirobok dengan seorang yang berdiri di ujung sana. Bau apel madu yang tadi sekelebat ia cium, dari sana asalnya. Tercium sedikit kecut, dikarenakan rasa takut.
Perut Jeno rasanya tergelitik, ingin tertawa sekaligus terasa geli tidak karuan. Ia tahu, geisha yang berdiri paling ujung itu pasti takut. Entah karena euphoria yang ditunjukkan para prajurit itu, atau hal lain.
"Baiklah - baiklah, tenanglah prajurit muda."
Seruan dari sang Jendral mengambil atensi dari sekitarnya, sekaligus menenangkan bawahannya.
"Nah, aku tahu kalian pasti sudah tidak sabar dengan hidangan malam ini. Tapi, aku ingin memberi hadiah pada samurai paling berjasa di pertempuran kali ini."
Sesaat, semua mata seketika tertuju pada Jeno. Sedang yang ditatap kini menelan ludahnya dengan gugup. 'Ah, padahal aku ingin cepat-cepat melarikan diri dari sini' batinnya.
"Sa.. Saya tuan?" Dirinya tergagap konyol, dan sosok diujung sana ia lihat sedang terkekeh kecil.
"Ya, tentu saja Jeno. Itu semua berkat idemu kita bisa memenangkan pertempuran ini. Jadi pilihlah seseorang untuk menemani malammu."
"Saya, saya tidak perlu..." Kalimatnya memelan karena dirasa tatapan prajurit lain yang seperti mengancam. Menolak hadiah dari seorang Jenderal sama saja dengan mempertanyakan otoritasnya, dan Jeno sekarang sedang melakukan itu. Dengan sang shogun yang memelototinya. Sial ia tidak mau kepala dan badannya terpisah di sini.
"Baiklah, tuan."
Dan dengan tidak adanya pilihan lain, diangkatnya pandangannya pada seseorang diujung sana yang tadi menertawakannnya.
"Aku memilih dia."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
."Aku memilih dia"
Keempat orang geisha yang berdiri di sampingnya memandangi Renjun dengan sinis. Bagaimana tidak? Seorang samurai muda dan tampan memilihmu itu berarti malam yang baik menghampiri. Wajar jika teman atau sainganmu iri. Sedangkan dirinya sekarang tengah menahan gugup setengah mati saat samurai dengan luka segar di alisnya itu menunjuk dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty And The Warrior
Fanfiction"Seorang Oiran tidak boleh meninggalkan okiya"-Renjun- "Aku bisa melakukan apapun untuk mu. Tapi aku butuh kau untuk percaya padaku."-Jeno-