Chapter 1 - Peri Bulan

156 21 1
                                    


.

.

.

Pernah satu ketika, di masa yang sangat jauh dari hari ini. Saat puluhan kuncup bunga mulai memenuhi dahan-dahan basah pohon apel di permulaan musim semi, legenda yang akan kuceritakan ini dimulai.

.

.

.


Musim semi yang mampir di desa mungil para liliput dan peri terasa hangat dan nyaman, ratusan mahluk dari jenis mereka mengerjakan tugas masing-masing. Dengungan sayap-sayap peri yang terbang kesana-kemari mengangkut tong-tong berisi madu terdengar di seluru sudut desa.

Beberapa liliput dengan topi-topi lancip hijau zambrud mereka sedang sibuk memetik berry putih di tepi hutan dekat desa yang hanya berbuah saat musim semi datang, sedang para liliput lainnya dengan topi-topi putih mereka bekerja keras memahat detail indah patung kayu replika lengkap dari bunga bulan, replika indah dengan banyak sulur di batang tiruannya.

Sedang di bagian lain dari sudut desa, berpuluh-puluh kue mangkuk bunga teratai dipanggang bersamaan dengan pie jamur merah di dalam pemanggang raksasa milik Tok Abah si peri tua. Aroma hangat kue dan pie yang baru selesai dipanggang mengepul  bersama udara hangat. Memenuhi penjuru desa tempat para peri dan liliput lainnya bekerja, membuat salah satu peri gempal- Gopal bersorak riang membayangkan kue-kue yang akan ia makan saat malam perayaan nanti, kembali menyusun sulaman ilalang usai bersumpah jika ia akan memakan kue lebih banyak dari peri atau liliput manapun nantinya.

Di desa para peri dan liliput sudah jadi tradisi leluhur mereka untuk membuat perayaan besar saat menyambut bulan baru di awal musim semi. Ungkapan atas rasa syukur dan kegembiraan mereka atas berkah yang diberikan dewa-dewi penjaga hutan dan desa tempat mereka hidup dengan damai.

Segala macam kesibukan terjadi saat itu. Semua perhatian tertuju kepada acara perayaan.

Kecuali satu peri.

Peri laki-laki dengan ekspresi kesal yang selalu terpasang di wajah mungilnya. Taufan nama peri itu. Sepanjang hari ia hanya duduk di tepi ladang sambil terus-terusan menggerutu. mengoceh sendirian tentang kakeknya yang sibuk mengurusi acara perayaan.

Ia kesal, wajahnya memerah sampai ke ujung telinganya yang lancip. Melempar kerikil kedalam kubang lumpur, Taufan berteriak dengan keras. “Hah! Memangnya siapa yang mau pergi ke acara yang membosankan.” Ucap si peri, memulai ocehannya yang baru.

Taufan terus saja menggerutu sampai salah satu sahabat liliputnya, Ying menghampiri dengan heran.

”Taufan? Bukannya kau harus bantu petik anggur danau yah? Yang lain sudah sibuk loh.” Tanya Ying, suaranya halus semanis nada lonceng milik para peri ladang. Topi merah lancip terlihat sedikit kebesaran di kepala kecil liliput perempuan itu, sedang tangannya masing-masing menenteng kantong dari kelopak warna-warni bunga musim semi.
Dari baunya, Taufan tahu jika di dalamnya berisi cukup banyak serbuk bunga teratai untuk membuat berpuluh-puluh kue mangkuk.

“khe! Biar kutebak, kau pasti juga sibuk karena acara itu.” Ucap Taufan. Kedua lengannya terlipat angkuh di depan dada.

Ying tersenyum. Dengan riang menjawab, ”Tentu saja! Aku sudah tidak sabar menunggu malam perayaan!” Suara Ying terdengar gembira. Pipi tembam milik liliput bertopi merah itu bersemu lucu.

Taufan makin cemberut. Ia mengerutkan alisnya dengan kesal, “Terserah! Aku tidak peduli dengan para dewa-dewi. Lebih baik aku pergi ke tempat Iwan saja.” Ucap Taufan. Sayapnya dikepakan tidak sabaran, dengan cepat ia melesat terbang menuju rumah cangkang milik Iwan. Meninggalkan Ying yang berteriak kencang dibawanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Dying SpringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang