Chapter 8

20 2 0
                                    

Kini lima orang terkuat dari masing-masing kubu saling berhadapan di dalam pelindung tersebut. Di sisi kiri ada Fairez, Calvin, Darrel, pangeran demon bernama Benzino, dan seseorang yang berhubungan dengan penyihir putih di masa lalu bernama Arthur. Sedangkan di sisi kanan ada Yoshavin, Travis, Jaidev, Asadya, dan pangeran half-demon bernama Ben. Mereka saling menatap lawan masing-masing sebelum mulai menyerang satu sama lain. Untuk kali ini Yoshavin melawan Calvin, Jaidev melawan Fairez, Travis melawan Darrel, Ben dengan Benzino serta Asadya dengan seorang vampir yang merupakan ayahnya sendiri yaitu, Arthur Rood.

Arthur adalah kandung Asadya dan Maitreya yang merupakan vampir murni lalu dulu menikah dengan penyihir putih hebat. Setelah melahirkan dua anak campuran tersebut, ibu mereka meninggal karena berusaha melindungi anaknya dari sang suami yang hendak membawa mereka ke kerajaan vampir. Beruntung sang ibu berhasil menyelamatkan anak kembarnya meski harus kehilangan nyawa. Jika dulu Asadya dan Maitreya berhasil dibawa oleh sang ayah, mungkin mereka sekarang menjadi sosok yang jahat dan licik seperti keturunan keluarga Rood lainnya. Kedua pemuda tersebut dibersihkan darah vampirnya sejak bayi jadi mereka benar-benar hidup sebagai seorang penyihir putih.

"Bocah tengik!" umpat Arthur saat Asadya berhasil mematahkan serangan dan membuatnya terpental. Dengan segera ia bangkit dan menyerang anaknya lagi, "Apa Janitra yang menjadikanmu seorang pembunuh berhati dingin?"

"Tutup mulutmu! Nama ibuku tidak pantas disebutkan oleh makhluk hina sepertimu, Arthur. Dan ibu tidak pernah mengajarkan sesuatu yang buruk karena ibu tidak ingin anaknya jadi brengsek sepertimu."

"Anak kurang ajar! Bagaimana pun aku adalah ayah kandungmu, Asadya."

"Persetan dengan statusmu. Tidak ada sedikit pun darahmu yang tertinggal di tubuhku jadi kita tidak memiliki hubungan keluarga."

"Menurutmu hubungan ayah dan anak bisa diputus semudah itu? Tentu saja tidak. Aku bisa membuatmu kesakitan hanya dengan jentikan jari saja. Seperti yang kulakukan pada ibumu dulu, Asadya. Kau mau menyusul ibumu sekarang?"

Asadya yang biasanya sangat pandai menahan emosi kini pun tak mampu membendung amarahnya lagi, "Kau terlalu banyak bicara, bajingan! Sudah waktunya kau menjadi abu!"

"Coba saja kalau kau bisa melakukannya padaku, Asadya Rood."

"Singkirkan nama Rood yang menjijikkan itu, brengsek! Namaku Asadya Witz. Dan aku bersumpah, aku akan menghabisimu saat ini juga," teriak Asadya lantang. Melihat Asadya yang sudah diselimuti kemarahan dan kebencian, Jaidev berteriak dari tempatnya yang agak jauh dari tempa wakilnya berada untuk mengingatkan agar si penyihir putih tidak lepas kendali dan bisa membunuh kawannya sendiri.

"KENDALIKAN DIRIMU! KAU BISA MEMBUNUH SEMUA YANG ADA DI DALAM SINI JIKA LEPAS KENDALI!" Jaidev berteriak sambil menghindari serangan Fairez yang semakin membabi-buta. Satu pukulan kuat berhasil mengenai rahang pemimpin bangsa penyihir dan membuatnya terpental, "Fairez sialan! Akan kubalas kau!"

"Ayo balas seranganku, Jay! Bukankah kau selalu mengaku bahwa kau hebat? Kemarilah! Akan kuhancurkan tubuhmu hingga tulangmu hancur lebur!"

"Tidak akan semudah itu. Kita lihat siapa yang akan remuk tulangnya di antara kita nanti."

Jaidev bangkit kemudian mengarahkan sihir kutukan ke arah Fairez agar tidak bisa lolos darinya dengan mudah. Jika berhasil, sihir kutukan tersebut akan mengikat dan menyegel kekuatan bawaan dari target. Namun, pemimpin vampire berhasil menghindar dan Calvin sempat membalikan sihir kutukan. Dengan cepat Jay menghindar lalu menghancurkan sihir kutukannya agar tidak mengenai yang lain. Pertarungan antar kedua pemimpin kembali berlanjut dan semakin sengit saja karena mereka terus menyerang tanpa ampun.

Sementara Calvin sendiri kembali menghadapi Yoshavin yang tadi sempat dilumpuhkan beberapa saat. Si vampir campuran tersebut paham jika lawannya sudah terkuras banyak tenaga jadi ia berusaha membuat si alpha serigala kehabisan tenaga. Saat tenaga sudah benar-benar habis dan lengah, dia akan langsung menghabisi pemimpin bangsa werewolf tersebut. Keduanya bertarung tanpa banyak bicara karena Yoshavin tidak akan bisa bicara seperti manusia juga jika dalam wujud serigala. Calvin sungguh-sungguh mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyerang dan bertahan sebaik mungkin serta melindungi ayahnya juga.

Di sebelah Calvin dan Yoshavin, ada Ben dan Benzino yang tengah bertarung menggunakan pedang dari neraka. Sesekali Ben menggunakan sihirnya untuk bertahan atau menangkis serangan yang diberikan saudara jauhnya itu. Mereka sama-sama diam ketika bertarung dan hanya sesekali mengumpat kecil karena memang ayahnya mengajarkan keduanya untuk diam saat bertarung sembari mengamati gerak-gerik lawan agar bisa mengetahui kelemahannya. Pertarungan keduanya berlangsung sengit karena kekuatan mereka seimbang meski untuk ketahanan fisik, Benzino lebih unggul berkat darah iblis murni. Sedangkan yang half-blood sudah mulai kelelahan akibat penggunaan sihir dan kekuatan fisik secara terus menerus.

"Kau sudah mulai kelelahan bukan? Mau langsung kuakhiri saja? Kubuat kau menyusul ibumu sekarang."

"Hanya dalam mimpimu, Benzino. Aku yang akan menghabisimu terlebih dulu."

"Kita lihat saja nanti! Makhluk campuran sepertimu tidak akan pernah bisa mengalahkan iblis murni sepertiku."

Ben menyunggingkan senyuman sinis sebentar sebelum wajahnya kembali datar dan fokus. Dia menatap lekat lawannya kemudian merapalkan mantra sihir hitam yang dipelajari dari sang ibu. Di depan sana musuhnya juga mempersiapkan diri untuk menerima dan melawan balik serangan yang ditujukan padanya. Benzino mengeluarkan api biru dari kedua tangannya dan manik matanya berubah menjadi abu-abu. Mereka pun saling menyerang mengunakkan kemampuan bawaan masing-masing hingga titik darah penghabisan.

"Hanya segitu kemampuanmu, Travis? Sudah menyerah? Ingin mati sekarang?" tanya Darrel sembari berjalan mendekati Travis yang tergeletak di tanah. Mereka bertarung tidak jauh dari kedua iblis tadi dan kini tercipta jarak yang agak jauh karena Travis terpental akibat serangan Darrel.

Tubuh si bungsu Rood tampak mengenaskan dengan banyaknya luka di tubuh jangkungnya sekarang ini. Semua itu adalah perbuatan dari si sulung Rood yang menyerang dengan membabi buta tadi. Kelebihan Darrel adalah kemampuan fisiknya sangat kuat, regenerasi yang cepat, dan membunuh hanya dengan tatapan mata. Sementara Travis unggul dalam permainan senjata, kecepatan tinggi, dan darahnya yang beracun. Belum sempat Darrel memberikan tatapan mautnya, Travis dengan cepat bangkit lalu mengambil jarak dengan sang kakak.

"Kau tidak akan bisa membunuhku semudah itu, Kak Darrel. Sadarlah, kak! Kau sudah dikendalikan oleh ayah. Jangan sampai kau menyesal nanti karena telah melukai saudaramu sendiri."

"Menyesal? Tidak akan. Kau bukan saudaraku, Travis. Kau hanyalah seorang pengkhianat yang memang seharusnya dimusnahkan."

Rasanya sakit ketika mendengar ucapan sang kakak yang menganggapnya seorang pengkhianat. Namun, ia tidak ada waktu untuk memikirkan rasa sakitnya di meda pertempuran seperti ini. Dengan gerakan halus, Travis mengeluarkan belati yang tergantung di pinggang bagian belakang. Kemudian dengan cepat mengoleskan darahnya sendiri ke belati tersebut. Di depan sana Darrel mempersiapkan diri untuk masuk ke mode paling maksimal dari kemampuan yang dimiliki.

Manik mata yang semula berwarna merah darah kini menjadi berwarna emas dan itu adalah tatapan mautnya. Hanya dengan menatap target tepat di matanya selama sepuluh detik maka seketika target akan musnah menjadi abu. Kedua vampir saling bertatapan intens kemudian dengan gerakan cepat Travis bergerak menghampiri kakaknya. Belati berhasil menancap di dada Darrel, tepat di mana jantungnya berada. Perlahan bola mata si sulung Rood berubah menjadi warna cokelat dan perlahan tubuhnya ambruk di dekapan sang adik.

"Maafkan aku jika harus membunuhmu sekarang, kak. Aku akan menyusulmu nanti."

Di sisa akhir hidupnya, Darrel tersadar bahwa selama ini pikirannya telah dikendalikan dan dimanipulasi oleh sang ayah. Dia tersenyum miris ketika kepalanya kini dipangku oleh Travis yang tengah menangis seraya menatapnya lekat. Dengan sisa tenaga, ia menggerakkan tangan lalu mengusap pipi adiknya yang basah karena air mata. Susah payah pemuda itu mengatakan sesuatu kepada sang adik sebelum tubuhnya membiru dan berkahir menghitam. Racun sudah bekerja untuk membunuh dan korban tidak akan bisa diselamatkan meski dengan bantuan sihir healing atau ramuan terbaik sekali pun.

"Seharusnya aku yang meminta maaf. Terima kasih sudah membebaskanku dari kendali ayah. Kau harus menang. Sampai jumpa, adikku," Travis hanya mengangguk dan tersenyum membalas ucapan terakhir kakak sulungnya kemudian memindahkan mayatnya ke pinggir.

.

.

.

To Be Continue...

Terima kasih telah membaca. Maafkan jika ada typo. Jangan lupa vomment!^^

Kniaz Sudby | Treasure FanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang