PAK GANA YANG GANAS

9 2 0
                                    

membasahi mu sederas hujan di bulan juli, masih mendung walau kadang awan menyingsing lebih tinggi, kicauan burung cekikikan Matahari diatas pohon ketapang yang rindang, cuaca sedang tidak ramah dan kadang suara lolongan pak Gana menyeruak seantero negeri, “jangan mau!, jadi domba-domba partai!, nasdem..., PDI...., PDI itu singkatan dari “ Peranakan Duryudana Indonesia “, “kalian masih percaya dengan orang-orang itu!? “ Suara itu mencekik langit biru, menggelegar hingga toa masjid pun kalah kerasnya, “pak mbok ojo seru-seru!, kuwi ono sek meninggal dadi ra krungu!” Sahut istrinya pak Gana yang senantiasa menjadi obat penenang bapak-bapak kepala 5 ini, “ahhh.., itu yang meninggal karena kena penyakit partai, dia itu disantet sama luhut! “ Celoteh pak Gana dengan mata yang melotot hampir keluar, “hah emang luhut punya partai ya? “ Tanya ku menyela ocehan pak Gana, untuk beberapa saat hingga matahari redup sedikit, kini pak Gana Sudah semerah paprika segar, kumisnya bergejolak seperti jet, dan sarung nya dibuat setengah melorot karena amarah yang memuncak, pak Gana naik pitam, ia kembali kumat..., kemudian Pak Gana memasuki masjid seraya mencuri mikrofon, belum sampai di ujung mulutnya, mikrofon tersebut menyetrum pak Gana, hal tersebut membuat dia semakin kebakaran jenggot..., sudah lama suasana masjid tidak seramai ini, terakhir kali saat sholat tarawih 2017, itupun karena banyaknya bocah ingusan yang bukannya sholat malah roll depan, roll belakang diantara jama’ah lainnya. Ada alasan kenapa pak Gana bisa semarah itu saat melihat ku, namaku Darus Ibrahim, kadang di panggil Ibra, kadang di panggil arus.., tapi tetep panggilan dari mamah gw yang paling cucok..., “Idar.. “ Agak jauh dari nama panjangku, tapi kalau di telaah lagi jaraknya begitu dekat, “I” Berasal dari Ibrahim, sedangkan “Dar” Adalah dua huruf terdepan dari namaku.
Diriku merupakan bagian dari partai, dan kini tengah melakukan sosialisasi di desa pak Gana, tapi memang terkadang masalah tidak bisa di selesaikan dengan mudah, Sudah lebih dari satu minggu diriku berbaur dengan warga desa, mulai dari yang paling muda sampai yang paling tua, semua yang tinggal di desa ini Sudah seperti saudara sendiri..., namun Pak Gana berbeda, ia merupakan saudara yang suka menjahili adik-adiknya, pak Gana bagai tembok yang tak bisa roboh, matanya bagai silet tajam yang bisa menusuk dari mana saja, mulutnya meliak-liuk layaknya ular saat ia menyuarakan pendapatnya, dan yang paling membuatku kesusahan setengah mati adalah tingkah brutal dari seorang bapak kepala keluarga dengan putra tunggal dan istri baiknya...

Masih cekcok dengan masalah partai, Pak Gana dan warga desa layaknya sabung ayam yang dengan sengitnya bisa sampai memotong paruh, sayap, dan ceker. Melihat situasi yang semakin memanas, aku tak tinggal diam, maju melerai bapak-bapak desa ini, pak Gana masih sedikit emosi walau tidak sepanas sebelumnya. Matahari bertengger di awang-awang, berbinar di tengah cakrawala, jalanan desa yang awalnya dibasahi air dari selang warga mulai menguap, “Allah Hu akbar..., Allah Hu akbar” Adzan dikumandangkan, pertanda waktu Dzuhur telah tiba, tapi ada yang membuat kami warga desa menjadi gelagapan, tak ada angin tak ada hujan, pak Gana dengan lantang menyuarakan adzan..., mentari bahkan ikut sayup-sayup mendengar, burung-burung berhenti bersahutan, dan klakson bus budiman Jakarta-bandung mendadak diam tak bersuara.
Beberapa saat setelah adzan selesai, warga terenyuh dengan sikap pak Gana, walah beliau orang yang emosian tapi masih ingat sama Allah, “eh.., tapi gak ada panggilan adzan pun kita semua udah di masjid dari tadi!? “ Celetuk diriku, kami semua tertawa serentak termasuk pak Gana yang ketawanya menyaingi tawa warga, emosi pak Gana kadang tidak selalu membuat orang jadi matador atau banteng, karena pak Gana nyatanya membuat warga desa datang ke masjid untuk sholat tanpa di ingatkan lagi.
Kemudian kami melaksanakan sholat dzuhur berjamaah, yang awalnya berencana untuk menenangkan pak Gana, sekarang pak Gana yang menenangkan hati kami dengan lantunan Al-Fatihah.

Satu-satu aku sayang ibu, dua-dua..., Ayo pilih nomor dua, “asem..., maksa tenan! “ Terlihat wajah 5 bocil yang menempel di depan spanduk partai, keringat mereka membasahi tanah tandus, wajah mereka terlihat seperti apel di banyaknya pir, sedangkan tangan mereka tengah menenteng batu kali, satu sampai dua bocil sudah dalam keadaan telanjang bulat memperlihatkan gajah mereka yang merumbai kesana kemari, “heh..!!, ngopo ra nganggo klambi! “ Bentak seorang ibu dari anak yang bernama Beo, salah satu anak yang telanjang bulat, “anu bu..., klambi ne Beo Keli... “, saat kelima anak itu bermain di sungai, sebuah insiden terjadi..., celana dalam, baju, celana, dan buku saku pramuka merah ukuran kecil hanyut bersama kotoran Ardi, teman Beo yang bernama Ardi secara tidak sengaja melakukan buang air besar di dalam celana, karena tidak mau di marahi ibunya, Ardi memilih untuk menghanyutkan benda tersebut, sedangkan alasan Beo membuang bajunya karena baju yang ia pakai ada logo PDI perjuangan, buah jatuh tak jauh dari pohonnya, Beo adalah anak yang sangat anti pemerintah, dia liberal, dan Sudah mendeklarasikan negaranya sendiri di perbatasan antara sungai dan desa, tidak ada pemerintah..., serta warga negaranya berjumlah tujuh, Beo, Ardi, Cemon, Fajar, Dania, ibunya Ardi yang entah mengapa ikut-ikutan, dan tentu saja pak Gana selaku pelopor separatisme sekaligus ayah kandung dari Beo itu sendiri.
Pagi masih menemani hari minggu, waktu bermain anak-anak yang dipenuhi jenaka dan tawa masih menghiasi mentari, akan tetapi perkembangan zaman itu layaknya besi, ketika kamu menaruh nya di tempat terbuka maka besi tersebut akan berkarat. Etika, moral, dan perilaku anak-anak zaman sekarang sangat berbanding terbalik dari orang-orang dulu, tepatnya setelah kerusuhan 98, anak-anak jadi semakin mirip anjing rabies dibandingkan seorang anak-anak.
Suara dentuman yang amat keras terdengar hingga puluhan kilometer, bahkan mungkin polisi tidur pun bisa terbangun dibuatnya, dentuman kedua berbunyi, memicu pertanyaan dari warga sekitar, “darimana asal suara ini? “, kemudian setelah ditelusuri, terungkap bahwa dalang dibalik itu semua adalah Beo dan kelompoknya..., Beo kembali menyulut mercon terakhir, dan dentuman yang sangat keras ditutup dengan suara tawa mereka yang menggelegar,, “ Woy, sopo iki!, tak antil ndasmu! “ Bentak salah seorang warga, bentakan tersebut membuat ke-5 anak itu lari kocar kacir, bahkan ada yang sampai masuk ke rumah orang random, ada juga yang masuk tempat sampah daur ulang,    sampai-sampai Ardi dan Fajar nyuri sepeda butut milik mbah-mbah hanya untuk melarikan diri dari kejaran orang itu, sementara itu Beo masih terus berlari, hampir 7 kali Beo memutari desa, tak kenal lelah hingga kakinya lecet sekalipun, ia masih asik berlarian dari satu gapuro ke gapuro lainnya, hingga pada sisa tenaganya, Beo secara tidak sengaja memutus karet sendalnya, “bruk.... “ Kepalanya terhantuk semen, dagunya berdarah tapi ia masih bisa berdiri dengan nafas yang terengah-engah, tak sampai disitu, karena kebetulan dirinya ada di samping masjid, Beo terpikir untuk mengambil sendal yang terjejer di depan masjid, ia segera berlari kembali untuk mengambil sendal, dan dengan segera melanjutkan kejar-kejarannya dengan warga. Dagu yang masih berdarah, sendal entah punya siapa, keringat yang sudah membasahi kening hingga ujung telapak kaki, dan masih saja, tawa dan senyum anak ini masih tergambar di wajahnya...
Tak berselang lama, kucing-kucingan antara kelompok Beo dan warga berhasil tertangkap, setelah Beo secara tak sengaja malah masuk kehalaman warga yang menangkap basah dia..., dengan alasan yang seadanya kami sebisa mungkin meminta maaf sambil memohon-mohon, “ Maaf pak..., kami Cuma mau tau..., bagusan mercon imlek atau mercon NU”, Tangis mereka pecah, dan pada akhirnya anak-anak tetaplah anak-anak, warga memakluminya yang kemudian mengambil jalur perdamaian dengan meminta kelima anak itu untuk membersihkan sisa mercon, juga jangan lupa untuk mengembalikan sepeda curian mereka. Pagi beralih ke sore, 9 jam kami lewati dengan adrenalin yang memuncak, kerikil yang membuat kami tersandung dan amarah warga yang tersulut bagai petasan tahun baru.

Siang itu masjid sangat ramai, bahkan kalah jumlahnya dengan awan di langit Jakarta, suara gemercik air wudhu sayup-sayup terdengar dari balik tembok hijau masjid. Ketika Mulai memasuki rakaat kedua, jamaah shalat masih melakukan shalat dengan khusyuk, sampai tiba-tiba suara keras mengguncang fokus mereka, “BOOOOOOOMMMMM..... “, dari banyaknya jamaah shalat, ada beberapa jamaah yang sontak terperanjat dari barisan shaf mereka..., tapi suara itu tidak mereka hiraukan, shalat masih berlanjut dengan normal, hingga suara ledakan terdengar untuk kedua kalinya, “ Teroris, teroris, ini teroris ini!!!!”, Salah seorang jamaah keluar dari shafnya dan mulai membuat jamaah lain belingsatan, “BOOOOOOOOMMMMMMMMM.... “ Ledakan yang lebih keras kembali muncul, membuat jamaah semakin panik..., ada yang lari keluar tapi juga ada yang masih mempertahankan shalatnya, “ayo do metu, iki mengko di bom karo Syi’ah!! “, Sorak seorang jamaah, “kowe ki metu neng jobo malah modar!, neng kene wae..., atas perlindungan Allah awak dewe semoga diparingi keselamatan”, sahut seorang jamaah lainnya,
“ Emang bakal selamat!? “.
“ InsyaAllah!, nek ora pun, sek penting mati syahid... “.
“ Assalamu’alaikum warrah matullah, Assalamu’alaikum warrah matullah... “, Tak terasa rakaat terakhir telah menutup shalat dzuhur kali ini, dan tak terasa suara ledakan yang sedari tadi meneror mulai berhenti dengan sendirinya, “ Bapak-bapak semua..., gak perlu panik, tadi itu barang kali ulah anak-anak” Ucapku.
“Woahlah, tak kira kan ada agresi militer atau terorisme..., Hehe”.
Keadaan mulai adem ayem, jama’ah lainnya mulai keluar masjid setelah berdoa, termasuk pak Gana yang kelihatannya Sudah mulai tenang.  Dan saat pak Gana mau mengambil sendalnya benda itu sudah menghilang dari tempat, pak Gana mulai memasang wajah kesal kembali, tak mau ambil pusing, aku memberikan sendalku untuk pak Gana, raut wajah terkejut seolah tak percaya terlukis di wajah pak Gana, ia menerimanya dengan lapang dada, aku pun memberinya dengan ikhlas, kami berdua pun berdamai atas masalah politik dan partai, walau tak sampai membuat pak Gana mempercayai partai di Indonesia, setidaknya Sudah bisa membuat pak Gana menjadi kakak yang baik kepada adiknya.

muara-muara kendangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang