Sudut dinding-dinding kaca berseberangan, memberikan jarak pembatas ruangan, menutupinya dari tangisan.
Banyak doa dipanjatkan, merambat menutupi kesedihan, menanti uluran tangan Tuhan dari keputusasaan. Di dalam ruangan tembus pandang, jiwa yang lelah beristirahat dalam lelapnya.
Tak ada yang sanggup menyaksikan orang tersayang, berjuang antara hidup dan mati, bahkan hati sekeras batu, luluh lantah oleh penyesalan.
Radit dan Welly terdiam dalam kekhawatiran, menepis bayangan ketakutan, meyakinkan diri bahwa anak yang mereka didik keras tidak akan menyerah semudah itu. Mereka lebih memilih berdiam di rumah, menjahui kesesakan mereka.
Bagaskara memandang sendu kaca pembatas, mengusap dinding tembus pandang, berharap kembarannya merasakan ia selalu berada di sisinya. Ia tidak pernah meninggalkannya sendirian, banyak kekhawatiran mengenai kondisi Sang kembaran.
Candra masih berjuang di dalam sana, bertempur melawan rasa sakitnya, ditemani alat-alat medis mengerikan.
Naik turun kondisi Candra menjungkirbalikkan perasaan Bagaskara, pernah sewaktu-waktu detak jantung itu berhenti dengan napas tak berarti, membuat Bagaskara enggan melangkah pergi.
Hanya Bagakara penyemangat hidup Candra, jika ia mengikuti ego orang tua mereka, Candra tinggal tanpa penopang kehidupan.
Ruangan ICU dibuka oleh dokter yang bertugas, terharu melihat kembaran pasiennya berjaga di depan pintu, banyak pancaran harapan ditujukan kepadanya, membuat ia terenyuh kasih sayang anak kembar di hadapannya.
"Kembaranmu sekarang baik-baik saja, dia sudah melewati masa kritisnya, tinggal menunggu dia sadar. Sebentar lagi para perawat akan memindahkan ke ruang rawat biasa."
Bagaskara menangis haru, mencium tangan dokter berulang kali. "Terimakasih, Dok."
Dokter itu sedikit terkejut dengan respon Bagaskara, tersenyum simpul sambil menahan tangan Bagaskara. "Nak ... ini memang tugas saya menyelamatkan kembaran kamu. Dia sungguh beruntung mempunyai kembaran seperti kamu, tetap saling menyayangi satu sama lain, ya? Kembaranmu begitu rapuh tanpa penyemangat hidupnya."
Bagaskara mengangguk cepat, mencium tangan dokter itu sekali lagi. Tak lama setelah itu, ruangan ICU dibuka lebar, mengeluarkan brangkar Candra yang masih terlelap.
Bagaskara mendekat, mengiringinya ke ruang VIP yang ia pinta. Ia mulai lega melihat kondisi Candra berangsur membaik, juga alat-alat medis mengerikan berkurang dari sebelumnya, selang ventilator pun sudah digantikan masker oksigen.
"Adek kakak hebat, Adek kakak kuat." Bagaskara mengelus tangan Candra.
Setelah Candra dipindahkan ke ruang rawatnya, Bagaskara menghubungi orang tuanya, memberitahukan kondisi Candra. Namun, tidak satupun dari mereka menjawab panggilannya, dengan perasaan dongkol ia hanya memberikan pesan singkat, Candra sudah baik-baik saja tanpa kalian.Tidak sopan rasanya, tapi Bagaskara kecewa dengan mereka. Disaat kembarannya dalam keadaan kritis, mereka melarikan diri, dan tak menjelaskan apa sebenarnya terjadi.
Tanpa sadar, Bagaskara yang sibuk dengan pikirannya, tidak mengetahui jari kembarannya bergerak, mata yang tertutup gelisah dalam pejamnya, kelopak mata itu terbuka perlahan, menyesuaikan cahaya menyilaukan mata.
Bagaskara tersentak, ketika beralih pandang ke brangkar, kembarannnya membuka matanya, membuat kekesalannya menguap digantikan kebahagiaan. Kembarannya kembali.
Candra hanya memandang kosong, masih mencerna apa yang terjadi. Tubuhnya sakit, sesak, dan perih dalam bersamaan, tubuhnya seakan diremukkan."Adek ...." Bagaskara mengelus rambut Candra, mencondongkan tubuhnya ke arah brangkar.
Candra menggerakkan sisa tenaganya mencari asal suara, menoleh ke kanan, terpampang wajah Sang kakak. Bibirnya ditarik ke atas, membalas senyuman manis kembarannya.
"Ka-kakak."
Bagaskara langsung mencium puncak kepala Candra, takut mengenai perban di kepala kembarannya. "Ada yang sakit? Kakak panggil dokter dulu, ya."
Candra menggeleng, menahan tangan Bagaskara. "Adek nggak pa-pa, Kak. Jangan panggilkan dokter."
Bagaskara menurut, kembali duduk ditepi ranjang, mengusap dada Candra yang tampak berat. Bagaskara harus terbiasa dengan perubahan kondisi fisik kembarannya.
"Kakak bawa buku nggak?"
Aktivitas Bagaskara langsung terhenti, memandang datar Candra. Tak sekalipun dalam kondisi sakit ia terpikir memegang buku, dan sekarang kembarannya bertanya buku.
"Nggak ada, ya? Nanti kalau Kakak pulang bawakan buku di meja belajar Adek, ya? Adek harus ...."
"BISA DIAM NGGAK!?" bentak Bagaskara, menatap tajam kembarannya. "Kamu baru aja siuman, kamu nggak tahu seberapa gilanya Kakak dengar dokter bilang kamu kritis, dan sekarang kamu mau belajar?"
Candra menunduk dalam, meremat tangannya kuat, matanya berkaca-kaca. Ia kembali membuat marah orang lain karena kelakuannya. "Maaf," cicitnya.
Bagaskara menghembuskan napasnya kasar, berusaha mengembalikan kewarasannya, ia tanpa sengaja kelepasan, membuat kembarannya tertekan.
"Kalau capek istirahat, kamu bukan robot yang tak kenal lelah."
"Emang boleh?" Candra mengangkat kepalanya, menatap redup Bagaskara. "Belajar mati-matian aja aku belum bisa banggain mama dan papa, apalagi kalau aku malas-malasan belajar, mereka akan bertambah malu mempunyai anak sepertiku."
"Dek ... mama dan papa nggak mungkin malu, mereka hanya ingin terbaik untuk Adek, tapi cara mereka salah," sanggah Bagaskara. Kembarannya harus diberi dua pandangan agar mengerti bahwa apa yang dipikirkan salah.
"Kakak tau? Aku merasa di tengah kegelapan, meraba-raba mencari jalan keluar, tapi ... aku lupa ada jurang siap menjatuhkan ekspetasiku. Usaha dan doa hancur seketika, hingga apa yang aku raih menyatuh dalam kekecewaaan." Candra menatap Bagaskara penuh luka, mengangkat kedua tangannnya, menahan gemetar bersama jatuhnya air mata. "Sekuat apapun tangan ini mengais serpihan kebanggan, hanya luka kian menganga lebar."
"Dek ...."
Candra menggeleng, tidak membiarkan Bagaskara menghentikan suara isi hatinya. "Tak ada kata lelah dalam hidupku, karena semuanya memang pantas untukku, kegagalan, kekecewaan, dan ... tidak pantas mendapat kebahagiaan."
Bagaskara membawa Candra ke pelukannya. "Dek, kamu masih punya Kakak." Mengurai pelukannya, menatap Candra dalam. "Walaupun dunia memerangimu, datanglah kepada Kakak. Kakak akan menjadi terdepan melawan mereka."
Candra menengadah melihat kembarannya. "Bagaimana jika Kakak berbalik memerangiku?"
"Itu tidak akan terjadi ... Kakak tidak akan pernah meninggalkanmu, karena Adek separuh hidup Kakak."
Candra kembali memeluk Bagaskara, memegang kata-kata kembarannya sebagai penenang. Setidaknya, Tuhan mengasihaninya, menguatkan hidupnya lewat Bagaskara, sampai bisa melihat senyum bangga Mama dan Papa.
Rangkaian janji dibuat, membiarkan suka cita menggantung indah. Namun satu hal mereka tidak ketahui, semesta mengikat takdir manusia bersama dengan luka.
TBC
Siap-siap konflik sebenarnya akan dimulai 🙃
Salam Manis Popon
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
Teen FictionSebuah kisah dibalut luka. Tentang lara dihantam kelabu, tentang hati dikuasai pilu, hingga berakhir penyesalan tak berlalu. Lahir dengan bentuk yang sama dengan jalan takdir berbeda. Si sempurna pembawa kebanggaan, si cacat merumpangkan kebahagiaa...