E

124 13 0
                                    

Namanya Ningsih. Baru jadi mahasiswa selama beberapa minggu.

Sudah sejak pindah ke kos-an Putri Tunggal, Cakra sudah naksir padanya. Tiap hari di jam yang sama, Yuda menemani sobatnya itu untuk menunggui sang pujaan hati pulang dari kampus yang jaraknya cuma beberapa meter dari kos-kosan yang juga berdekatan dengan sekolah mereka.

“Jam berapa sih pulangnya, doi?” Yuda menghisap batang Surya-nya yang tinggal sebatang, kalau mau menemani ayon begini dia akan dibelikan satu bungkus lagi nanti.

“Biasa bro, jam 3 hari ini udah pulang.”

Sampai hafal dia. Batin Yuda.

Sudah jam 3 pas, sebentar lagi si hitam manis dambaan hati Cakra akan muncul. Dan benar saja, jam tiga sore lewat lima belas menit, dia turun dari becak. Memakai blouse putih bawahan rok hitam selutut, rambutnya yang tebal sebahu terlihat agak kusut, ada beberapa simpul kecil dari pita terikat di helaian rambutnya yang tebal dan hitam.

Yuda melirik sahabatnya yang melongo Cinta sudah membutakan mata Cakra, dia dulu suka sekali dengan perempuan yang memiliki wajah manis dan rupawan seperti Ningsih. Sayangnya, Ningsih sudah pernah menolak cintanya saat Cakra mengaku dia masih sekolah SMA, rupanya Ningsih lebih menyukai yang lebih tua darinya, “atau mentok-mentok seumurah lah,” ucap bibir manisnya waktu itu. Cara menolaknya yang lembut membuat Yuda tidak tega membenci dia yang sudah melukai perasaan Cakra sahabatnya. Cakra mulai galau, sementara melihat sahabatnya yang uring-uringan semenjak penolakan Ningsih terhadap dia, Yuda datang memberi ide gila.

“Lo bilang aja, lo 18 taun. Kelas tiga, kan doi belum tau lo kelas berapa.”

Mereka masih 16 tahun, baru duduk di kelas 10. Tapi Cakra yang sudah kebelet pingin pacaran dengan Ningsih tidak peduli lagi soal kebohongan tadi, dan memang, hasilnya adalah; Ningsih akhirnya mau tersenyum lagi padanya dan bahkan mau menyapanya duluan ketika dia melihat kedua cungkring sekolahan itu yang duduk-duduk nongkrong di depan asrama putri.

Cakra menggulung lengan bajunya dan buru-buru menyuruh Yuda melakukan hal yang sama. Ningsih datang, dan melihat wajah-wajah sumringah para cowok abege yang kini menatapnya dengan senyum-senyum polos.

“Hai, Yon, Dib!”

“Haii!” Balas dua cunguk itu berbarengan.

Sang Putri gula jawa masuk ke dalam gerbang setelah menebarkan wewangian surgawi di depan dua manusia dengan tampang tolol tadi.

“Anjiiing~ bau matahari aja masih cakep, bro!” Cakra melompat sembari mengguncang lengan sahabatnya.

Yuda merotasikan bola matanya, kemudian menarik lengan sahabatnya itu. “udah kan? Pulang yok, gue laper banget!”

“Bentar dulu  siapa tau dia keluar lagi.”

“Matamu. Ngapain dia keluar, selama berhari-hari lo nungguin dia di sini, emang dia pernah keluar lagi abis masuk?”

“Kan siapa tahu hari ini beda, Dib!”

“Lo kebanyakan halu, mending lo pikirin cacing-cacing di perut gue yang belum gue kasih makan.”

Cakra dengan enggan mengiyakan, meski harus ditarik-tarik dulu oleh Yuda biar dia mau bergerak dari posisinya.

Begitulah kegiatan mereka 5 hari dalam seminggu, menunggui Ningsih. Sebab kalau malam minggu, ningsih selalu keluar dengan temannya, kata ibu kos. Dan di kos ini tidak boleh bawa teman ramai-ramai, apalagi tamu cowok! Cuma demi beberapa detik mata mereka berpapasan, dan kalimat sederhana “Hai” dibarengi senyuman andalah mematikan Neng Ningsih si gula jawa, menunggu sejam lebih pun Cakra relaaaaa.

Baru beberapa langkah dari pagar bercat hitam kos-kosan mahasiswa, mereka berhenti, mendengar suara manis yang familier ditelinga.

“Ayon, tunggu!”

Si yang punya nama langsung meleng, dan matanya membesar ketika si gula jawa berdiri masih dengan kostumnya yang tadi, berdiri dengan sendal bulu-bulu warna merah muda menggantikan sepatunya tadi, melambaikan tangannya kepada pemuda-pemuda itu.

Cakra langsung berlari meninggalkan Yuda yang kebingungan, kemudian menyusulnya dengan langkah malas.

“Ya, manis? Eh, itu... ya? Ningsih?” Cakra mendadak tolol lagi di depan Ningsih.

“Ini, buat kamu, sama Ledib sekalian, kata ibuk kalian nunggu dari jam setengah dua?”

Cakra berbunga-bunga, rasanya dia seperti balon, ingin terbang ke atas dan melayang di udara. Botol minuman kemasan pertama dari pujaan hati. “M-makasih, Ningsih.”

“Lain kali gak usah nunggu lagi ya, aku ga tega, dan aku juga gamau kamu nungguin aku terus di sini.”

“Enggak apa-apa kok, aku Cuma pengen liat kamu aja, buat naikin mood.” Cakra mulai berani buat blak-blakan lagi soal perasaannya.

Tapi Yuda yang berdiri di belakangnya, yang bisa mendengar mereka, memperhatikan wajah Ningsih. Perempuan itu terlihat tidak enak, tapi di ujung lidahnya menyimpan kata-kata yang mungkin saja, akan membuat sahabatnya kembali patah hati. Yuda masih diam saja memperhatikan mereka.

“Ga usah, Yon. Aku tau kamu suka aku, dan aku tau kamu udah bohong soal ini,” cewek itu melepas gulungan lengan kemeja Cakra, yang kini menampakkan angka romawi sepuluh.

Yuda tidak bisa melihat ekspresi Cakra di posisinya, tapi dia tahu bagaimana perasaan Cakra saat itu. Bahkan terik matahari pun rasanya tidak seberapa menusuk kulit.

“Mau kamu lebih tua, seumuran, itu gak penting buat aku, Yon. Aku gak bisa bales perasaan kamu. Sampe kapanpun gak bakal bisa.”

“Ya kenapa, Ningsih?” Suara Cakra mulai bergetar, “karena aku gak cakep? Atau apa?”

Ningsih menggeleng keras, “enggak, bukan itu. Sama sekali bukan.”

“Ya trus apa?”

“Aku udah tunangan.”

Hening. Yuda membulatkan matanya. Kaget. Gadis itu? Sudah memiliki calon suami?

“Umur aku bukan 18 taun, aku emang baru masuk kuliah, aku kan ga pernah bilang umur aku, aku 24 taun sekarang, dan aku...”

Dua pasang mata lain memandang ke bawah, ke arah di mana tangan mungil Ningsih bergerak, mengelusi perutnya yang masih rata.

“Aku sedang mengandung...”

reuniteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang