- MEI 2022
Setelah mendapat kabar buruk tentang penyakitnya, Phawin merasa bingung dan takut. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan yang sangat menyedihkan itu. Ia tidak tahu harus bagaimana menjalani sisa hidupnya yang tidak lama lagi. Ia tidak tahu harus bagaimana memberitahu Team tentang hal ini. Ia tidak ingin membuat Team khawatir dan sedih. Ia tidak ingin kehilangan Team yang sangat dicintainya. Ia memutuskan untuk menyembunyikan penyakitnya dari Team dan berpura-pura seolah-olah tidak ada yang salah dengan dirinya. Ia berusaha untuk tetap berakting dengan baik di filmnya bersama Nara. Ia berusaha untuk tetap berhubungan dengan baik dengan Team yang selalu menunggunya di apartemen. Ia berusaha untuk tetap tersenyum dan bahagia di depan semua orang.
Namun, usahanya itu sia-sia. Penyakitnya semakin parah dan gejalanya semakin sering muncul. Ia sering merasakan sakit kepala yang hebat, pusing yang mengganggu, mual yang menyiksa, lemas yang menghambat, penglihatan yang kabur, ingatan yang hilang, dan mimisan yang menakutkan. Ia sering harus pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan dari Dokter Dira. Ia sering harus membatalkan janji-janjinya dengan Team karena alasan-alasan darurat. Ia sering harus berbohong kepada Team tentang keadaannya yang sebenarnya.
Suatu hari disaat sudah mulai luang, ia mendapat telepon dari Team yang mengajaknya untuk berkencan. Ia merasa senang karena bisa bertemu dengan Team setelah lama tidak melihatnya. Ia merasa bersalah karena sudah membuat Team menunggu terlalu lama. Ia merasa bersemangat karena ingin memberikan kejutan kepada Team berupa cincin pertunangan yang sudah ia beli sejak lama. Ia berencana untuk melamar Team di taman kota dan membuatnya menjadi hari yang paling indah dalam hidup mereka berdua.
Namun, rencananya itu terganggu lagi oleh sesuatu yang tidak terduga. Ketika ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke taman kota, ia merasakan sakit kepala yang sangat hebat dan mimisan yang cukup banyak. Ia merasa seperti ada bom yang meledak di dalam kepalanya dan darah yang mengalir deras dari hidungnya. Ia terjatuh ke lantai dengan tubuh lemas dan wajah pucat. Ia mencoba untuk bangun dan mencari bantuan, tetapi ia tidak bisa bergerak sama sekali. Ia mencoba untuk menelepon Dokter Dira atau Team, tetapi ia tidak bisa menggapai ponselnya yang jatuh di sampingnya. Ia mencoba untuk berteriak minta tolong, tetapi ia tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali.
"Aduh... aduh..."
"Kak Diraa.."
"Team.."
"T-Tolongg..."
Namun, ketika ia hampir menyerah dan menutup matanya untuk selamanya,
Braakkkkkk
ia mendengar suara pintu apartemennya dibuka dengan keras dan langkah kaki yang berlari menuju ke arahnya. Ia berusaha membuka matanya dengan susah payah dan melihat sosok yang sangat ia kenal dan sayangi. Kakaknya, Wan, yang datang untuk menolongnya.
"Phawin! Kamu di mana?!"
Wan melihat Phawin terbaring di lantai dengan darah yang masih keluar dari hidung nya. "Oh, Tuhan! Phawin!"
Phawin! Phawin! Kenapa bisa seperti ini sihh!
Phawin mengangkat matanya ke arah Wan dengan lemah
"H-hia Wan..."
"Iya Win, ini aku.. tolong tetap sadar ya.. kumohon" ujar Wan mengangkat tubuh adik nya untuk di bawa ke rumah sakit.
Wan adalah kakak satu-satunya dari Phawin. Ia sangat menyayangi adiknya itu dan selalu melindunginya dari segala bahaya. Ia tahu bahwa adiknya itu menderita kanker otak stadium lanjut karena Dokter Dira memberitahunya secara diam diam. Ia tahu bahwa adiknya itu menyembunyikan penyakitnya dari Team juga karena tidak ingin membuatnya khawatir dan sedih. Ia tahu bahwa adiknya itu berusaha untuk tetap hidup dan bahagia meskipun ia sadar bahwa ia tidak akan hidup lama lagi.
Ia datang ke apartemen Phawin karena ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan adiknya itu. Ia mencoba untuk menelepon Phawin, tetapi tidak ada jawaban dan balasan sama sekali. Ia mencoba untuk menenangkan diri dan berpikir positif, tetapi tetap tidak bisa menghilangkan rasa khawatir dan curiga di hatinya.
Sebelum Hia Wan ke Apartemen Win
Namun, tidak ada satu balasanpun yang didapat. Ia merasa seperti ada sesuatu yang salah dengan adiknya itu. Ia merasa seperti harus segera mengecek keadaannya. Ia mengambil kunci cadangan apartemen Phawin yang disimpannya sejak dulu dan berangkat menuju apartemen Phawin dengan cepat seraya bergelut dengan fikiran nya sendiri
"Kenapa dia tidak menjawab teleponku? Tidak biasanya dia seperti ini"
"Apa dia sakit lagi? Apakah dia harus ke rumah sakit lagi?"
"Tidak... tidak... tidak... aku tidak boleh berpikir seperti itu..."
"Tuhan.. Tolong selamatkan adik ku"
KAMU SEDANG MEMBACA
PLEASE, TRUST ME
Teen Fiction'𝘚𝘢𝘢𝘵 𝘪𝘵𝘶, 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘥𝘦𝘵𝘪𝘬 𝘪𝘯𝘪 𝘱𝘶𝘯.. 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘶𝘯𝘵𝘶𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘯𝘶𝘩 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘰𝘭𝘦𝘩𝘮𝘶..'