Althea tidak mungkin tidak mengenali suara yang sempat sangat akrab di telinganya. Bahkan jika yang bisa ia dengar hanya helaan nafas pria itu, Althea tetap tahu, ia hafal mati. Karena suara itu suara yang tidak pernah absen setidaknya selama dua tahun dalam lima tahun terakhir.
Suara dari pria yang menjadi patah hati terbesarnya.
Suara dari pria yang menjadikan ia pengecut, bersembunyi selama tiga tahun terakhir karena tidak berani berada ditempat yang sama dengan pria itu.
Demi Tuhan. Ia telah berlari selama ini.
Meski Althea tahu suatu saat mereka akan kembali bertemu, tetapi tetap saja.. Mengapa diantara semua tempat diseluruh dunia, mengapa disini? Mengapa ditempat ia mengajar?Dan apa tadi..? Mikail memanggil pria itu.. Papa?
Tubuh Althea seketika menggigil, tangannya bergetar, takut.
Althea pikir lebih baik mereka bertemu dimana saja ditempat umum selain ditempat kerjanya. Karena jika pria itu tahu dimana Althea bekerja, itu artinya Althea tidak lagi aman, ia harus menyiapkan diri lagi untuk lari.
Sementara ini terlalu tiba-tiba. Althea belum memiliki persiapan apapun, dan ia sedang tidak memiliki waktu luang untuk memikirkan itu.
"Lo Althea, 'kan? Gue gak mungkin salah." Tanya pria itu lagi, memastikan.
Sementara Mecca dan Malik menatap bingung kedua orang dihadapannya. Keduanya saling berpandangan, bicara melalui mata; Mereka saling kenal?
Tadinya Mecca mengira mungkin itu hal baik karena ternyata guru les Mikail mengenal sepupunya. Bahkan ia berniat meminta pria itu untuk mengantar Althea pulang.
Tetapi melihat tatapan ketakutan itu..
Mecca bergegas menyerahkan Medina pada Malik, "Keatas duluan, Pi." Titahnya pada sang suami, yang langsung diamini Malik. Malik menggendong Medina dan berlalu menaiki tangga.
"Althea, hei, ini gue. Lo nggak lupa, 'kan?" Pria tadi mencoba maju beberapa langkah mendekat, namun Mecca selangkah lebih cepat menempatkan diri ditengah keduanya.
Sebelum itu ia mencuri pandang pada guru les Mikail, tidak berubah, masih amat jelas kepanikan dan kegelisahan diwajah cantiknya. Bahkan ketika tatapan Mecca turun, tangan Althea masih bergetar.
"Lo sok kenal banget, sumpah. Malu gue." Mecca mendorong pelan pria itu mundur, mencoba mengontrol keadaan. Kemudian dengan wajah merasa bersalah beralih pada Althea.
"Miss, maaf ya, sepupu saya emang suka sok kenal." Ucap Mecca sungkan.
Sepupu..? Lelucon apa ini?! Althea telah berlari jauh, mengapa akhirnya ia terjebak disini?! Mengapa semua masih tentang pria itu? Bagaimana dengan usahanya? Demi Tuhan, bahkan ternyata Althea melemparkan dirinya terdampar ditengah keluarga pria itu!
Ini gila! Althea memejamkan matanya, mengandalikan diri. Rasanya ia ingin menangis sekarang.
Ia berusaha tetap bernafas dengan normal, meski udara disekitarnya terasa menyesakkan menghimpit dadanya. Tangannya yang masih bergetar ia eratkan membentuk kepalan menyimpannya didepan dada.
Tidak terima, pria itu mencoba kembali maju dan Mecca kembali menahannya. "Apa-apaan sih, lo?! Bebal amat!" Omel Ibu dua anak itu kesal.
"Lo yang apa-apaan! Minggir, Mecca. Menjauh dari hal yang bukan urusan lo."
"Urusan gue karena ini ditempat gue!" Bentak Mecca pada sepupunya. Kemudian tersadar bahwa tidak hanya mereka bertiga disana. "Pergi sekarang telat nanti. Itu lho Mikail kasian." Mecca memelankan suaranya, menunjuk anak lelaki yang memandang bingung pada tiga orang dewasa dihadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONE WAY TICKET | JEONGHAN X LISA
FanfictionAnywhere you are Is where I want to go You are my address I don't care how I get it Need a one way ticket.. Home.