Di subuh yang dingin dan ditemani dengan suara langkah kaki yang begitu berisik. Araya, panggilan si pemilik langkah. Ia berlari kencang menuju mesjid padahal jaraknya pun tak begitu jauh.
"Cepat sedikit, Rin!" Gadis itu menatap tajam seseorang yang ia panggil. Sementara orang yang dipanggil masih berlari pelan dengan napas yang tersenggal.
"Kau tak lihat kah Ay? Aku sudah berlari semampuku," ucap Rina dengan wajah lesunya setelah tiba di hadapan Araya.
"Aku gak mau telat diimamin Gus Ahza," balas Araya, gadis 17 tahun dengan lesung pipinya.
"Darimana kau tahu Gus Ahza yang jadi imam?" tanya Rina tak habis pikir dengan sahabatnya.
"Mata-mataku 'kan banyak," ucap Araya dengan gaya tengilnya.
Dengan gerakan tangan mengepal di udara, Rina ingin sekali mencakar wajah Araya supaya sadar. Setelahnya ia menghela napas panjang, beristigfar di dalam hati. "Araya itu semakin diladeni, semakin menjadi-jadi," batin Rina.
Sementara, Araya yang melihat Rina pun merasa keheranan. "Stres kau Rin!" celetuk Araya lalu berbalik meninggalkan Rina dengan sedikit berlari kencang.
Ia merasa sudah membuang waktu jika terus meladeni Rina.
Rina yang ditinggal pun juga ikut menyusul. "Kurang ajar kau jadi teman, Ay!" teriak Rina di lorong asrama putri. Untunglah cukup sepi.
Sesampainya di dalam mesjid pesantren Al-Aqsa. Araya langsung bergegas menghampiri Dini yang bertugas menjaga saf yang ia minta. Selain mata-matanya yang banyak, ia juga punya teman-teman yang suka dimintai tolong.
"Dini, aman 'kan?"
"Aman, sesuai permintaan yang Mulia putri, saf depan di hadapan dinding pembatas biar leluasa ngintip imam," ujar Dini sedikit bercanda lalu tertawa.
Araya terkekeh pelan, sebenarnya ia ingin tertawa kencang, namun, ia sadar sedang berada di dalam mesjid.
"Dini emang paling setia, thanks ya Din," ucap Araya dengan mulut yang ia monyong-monyongkan. Dini dan kedua temannya yang melihat hanya menggelengkan kepala tanda tak habis pikir.
Siapa yang tidak mengenal Araya, gadis bermata sipit yang seringkali dikira keturanan Tionghoa padahal bukan. Ia dikenal seluruh penjuru pesantren Al-Aqsa dengan mottonya 'Gus Ahza Forever Mine' memang ia agak sedikit gila jika bersingungan dengan Gus Ahza. Entah itu karena obsesi atau bukan. Padahal sudah ditolak jutaan kali mungkin oleh Gus Ahza. Bahkan sudah pernah terkena bulian oleh para fans garis keras Gus Ahza. Tetap saja, Araya tak takut, malah ia melaporkan tindakan bulian itu ke pengurus.
Araya seperti gadis yang tak mengenal kata menyerah, baginya sebelum Gus Ahza belum menikah maka ia punya hak untuk terus melanjutkan apa yang sudah ia yakini. Ia percaya bahwa Allah membantunya dalam meluluhkan hati Gus Ahza. Emang boleh begitu sama Allah? Lihat saja nanti kalau Allah cemburu, dibikin patah hati baru sadar tuh.
Setelah menunaikan salat subuh di mesjid, Araya dan Rina berjalan beriringan.
"Sudah dong, Ay. Kasian tanahnya kau injak-injak begitu," tegur Rina yang sudah gerah melihat tingkah Araya akibat ternyata bukan Gus Ahza yang jadi imam salat tadi.
"Tanah emang buat diinjak, Rin!" Araya menatap Rina dengan wajah kecutnya.
"Awas aja tuh yang ngasih informasi palsu, kenapa jadi Ustaz Fikri sih yang jadi imam," rengek Araya bercampur rasa jengkelnya.
Bukan ia tak suka dengan Ustaz Fikri, hanya saja sudah seminggu ini, ia tak melihat Gus Ahza dengan matanya.
"Astagfirullah Ay, sudah sana taubat kau sebelum aku minta air ruqiah sama Gus Ahza!" Rina menabok pelan lengan Araya yang tertutup gamis cantik warna ungu. Selain sedikit gila dengan Gus Ahza, Araya juga gila dengan warna ungu, mulai dari hijab hingga sandal yang dipakai pun berwarna ungu. Rina bahkan sampai sakit kepala melihat kelakuan teman sekamarnya ini.
"Mau... Mau banget, Rin!" teriak Araya dengan menguncang tubuh Rina hingga menjadi perhatian sebagian murid asrama putri.
Rina menampar dahinya pelan. "Salah ngomong aku," lirih Rina dengan lelahnya.
Sebenarnya, mungkin sudah ratusan atau ribuan kali Rina menasihati Araya untuk tidak berlebihan dalam mengagumi lawan jenis, terlebih Gus Ahza yang terlihat mustahil untuk digapai. Namun, memang sudah dari lahir tahan banting, segala nasihat hingga kritikan hanya akan semakin memotivasi Araya untuk terus maju. Terlebih jika Rina sudah mulai mendongengkan kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha. Malah membuat Araya tambah semangat berusaha mendekatkan diri pada Allah dan juga sedikit mepet pada Gus Ahza. Seakan-akan laki-laki di dunia ini hanya ada Gus Ahza di matanya.
Memang susah ya mengendalikan sebuah rasa? Mungkin sudah ada 7 kali Araya mengajukan CV taaruf abal-abalnya pada Gus Ahza dalam setahun ke belakang ini. Bukannya fokus sekolah, fokus menuntut ilmu, fokus mengabdikan diri, ini malah ingin segera menikah. Araya bahkan menuliskan cita-citanya yaitu menjadi seorang istri dari Gust Ahza dan ibu dari dua anak kembar pada sebuah kertas. Kertas itu diprint, dilaminating lalu di tempel di dekat kaca lemari untuk terus mengingatkannya pada cita-citanya itu. Tiap pagi tuh kertas dipelototin.
Sebenarnya, Araya juga takut jika rasa ini kian membesar, membludak dan meledak. Ia belum bersiap untuk rasa sakit akan sebuah kenyataan yang mungkin sedang menghadang di depan sana. Manusia bisa berusaha, namun, tetap Allah yang punya kuasa. Man Jadda Wajada!
Kamu punya kuasa, kamu punya segalanya, apalagi Gus Ahza, eh!
"Kenapa lagi, Ay?" tanya Rina lelah melihat sahabatnya termenung di depan makanan. Mereka sedang sarapan bersama.
Araya menatap Rina yang makan dengan lahap tanpa mempedulikan sekitar.
"Aku kangen Gus Ahza, Rin," lirih Araya.
Rina yang mendengarnya pun balas menatap Araya. "Ya Allah, Ya Rab, gak tahu lagi mau nasihatin kau gimana, Ay," jawab Rina.
"Kau mana tahu apa yang aku rasain, Rin," balas Araya sembari memakan sarapannya.
Rina menghela napas panjang. "Aku mana mau rasain apa yang kau rasain sebelum waktunya."
"Kau tahu itu zina 'kan!" tegas Rina dengan sedikit lantang.
Araya membolaka matanya kaget. "Pelan sedikit, Rin. Nanti yang lain mikirnya aku zina," balas Araya sambil menepuk pelan punggung tangan Rina.
"Memang kau lagi zina pikiran toh," jawab Rina dengan santainya.
"Aku cuman bilang rindu, Rin."
"Tapi rindu kau tidak pada tempatnya," kata Rina ngasal. Kemudian ia berdiri. "Aku duluan mau siap-siap masuk kelas," pamit Rina lalu pergi meninggalkan Araya kebingungan.
Memangnya manusia tidak boleh merindu? Atau hanya boleh pungguk merindukan rembulan, eh!
Setiap rasa yang hadir di dalam diri ini, itu sudah kehendak Tuhan. Kemudian berbagai pilihan muncul, mau jatuh ke dasar jurang atau berjalan di bebatuan, atau pun ikuti arus sungai saja, itu tergantung manusianya. Tuhan sudah memberikan pilihan.
Jadi, masih tetap bertahan pada pilihan yang kamu pun ragu untuk memilihnya?
T o b e c o n t i n u e d
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny
SpiritualBukan cinta dalam diam! Apakah gadis sepertiku bisa menjadi pelabuhan terakhirmu? -Araya