Prolog

46 1 2
                                    

Cahaya matahari sangat cerah, awan sesekali meneduhi karavan ini dari teriknya matahari. Sembari menatap pasir yang terhampar didepan mata, aku mulai menggoreskan penaku ke buku harianku, kutorehkan satu per satu hal yang terjadi dihari ini, mulai dari hal yang membuatku bahagia sampai keluh kesahku tanpa melewatkan apapun, kemudian aku tersenyum puas sembari membaca kembali tulisanku, tanpa sadar aku mulai tertawa sendiri kemudian tiba-tiba merasa jengkel.

"Ekspresimu meliar lagi tuh" ucap seorang gadis seumuran denganku sembari tersenyum mengejek.

"Bukan urusanmu" balasku kesal. Ia terkekeh sebentar.

"Memangnya asyik ya?" Kalimatnya terhenti sejenak, matanya tertuju pada bukuku.

"Ah...asyik, setidaknya menurutku" balasku sembari mendekap buku harianku ke dada.

"Senangnya punya hal yang berharga seperti itu" celetuknya sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar sembari menghela nafas.

Sosoknya yang itu tampak sedih di mataku, aku ingin menghiburnya walau sedikit.

"Bukankah kamu juga memiliki hal yang berharga" celetukku.
Matanya menjelajah seluruh penjuru tubuhnya mencari hal yang kumaksud, namun sepertinya ia tak menemukannya, kemudian bertanya "Jubahku?"

Aku spontan tertawa "Bukan, yang kumaksud adalah pedangmu"

Ia menatap pedang yang tergantung di ikat pinggangnya, sekilas kulihat pandangannya melembut, aku tahu kalau ia sangat menghargai pedangnya, karena aku pernah mengenal seorang ksatria dari kampung halamanku yang sangat mementingkan pedangnya bahkan sampai pada tingkat fanatik pada pedang-pedangnya. Ah...mengenang kampung halamanku membuat dadaku terasa berongga.

"Kau benar juga ya, Sarah" celetuknya membuyarkan lamunanku "Aku juga punya benda yang sangat berharga"

"Ya, tentu saja..." dari lubuk hatiku aku menyadari bahwa, khalesha, gadis gurun yang dihadapan ku ini ternyata bisa membuat ekspresi yang sangat indah. "...kurasa semua orang memilikinya"

Ia tersenyum hangat, rambutmya tampak kemerah-merahan ketika cahaya matahari menimpanya wajahnya yang berwarna terang tak seperti bangsa Aria pada umumnya, ia adalah simbol dari keanggunan dari para prajurit wanita. Aku yakin, jika saja khalesha adalah seorang lelaki, maka aku pasti akan jatuh hati kepadanya tanpa ragu.

Tak terasa waktu telah berlalu, siang menjadi sore kemudian berakhir pada malam hari, waktu karavan ini beristirahat di dekat sebuah oasis kecil ditengah Padang pasir yang luas ini sembari memberi minum para kuda sekaligus mengisi ulang botol kulit mereka dengan air yang baru. Mereka membuat api unggun, beberapa dari mereka memanggang adonan roti, sisanya bernyanyi diiringi Tabukan gendang yang bertalu-talu indah. Entah mengapa aku cukup menyukai seni sastra dan musik bangsa timur, membahagiakan.

Ditengah gegap-gempita itu, aku dan Khalesha duduk berjejeran sembari bertukar cerita tentang kampung halaman kita masing-masing. Ia mulai bercerita tentang suatu tempat di timur jauh sana bahwa ada sebuah kota yang memiliki kastil besar yang memiliki beberapa tingkat, disetiap tingkat tanahnya sangat subur dan penuh dengan rerumputan dan tanaman-tanaman berbuah yang langka, udara sejuk bertiup dari singgasana sang Raja di puncak kastil, air mengalir yang berlimpah dari taman teratas kastil itu sampai ke kanal-kanal yang tersebar sampai seluruh penjuru kota seperti pembuluh darah, ia bahkan berkata bahwa tempat itu adalah utopia. Jujur saja, aku terkesima dengan cerita itu walau aku belum bisa membayangkan bagai mana rupa tempat yang indah itu.

Sebagai ganti dari kisah tentang kastil dari timur jauh, aku menceritakan tentang kastil diatas awan dari negeriku. "Dahulu kala, ada seorang ksatria baik hati yang gemar membantu orang yang kesusahan, ia tinggal di kaki suatu gunung dan selalu membantu para pengelana yang melintasi jalan dijaki gunung itu, karena kebaikannya itu ia dikenal dari mulut ke mulut sampai pada akhirnya sampai ke telinga seorang Raja arogan dari kerajaan sebelah yang hanya berjarak beberapa kota dari gunung itu, sang Raja menjadi penasaran tentangnya, kemudian sang Raja mengirimkan pasukannya pergi menuju kaki gunung itu, bukan pasukan yang banyak, namun mereka semua adalah individu berbakat dengan masing-masing kelebihan yang menonjol, mereka berlima adalah orang-orang yang terbaik dari yang terbaik."

Aku merasa senang karena ia mendengarkan ceritaku sepenuh hati, aku menegak minumanku sebelum melanjutkan kisahku. "Mereka berlima adalah Maine the Unpredictable Archer, Cain the Cat, Andre the Destroyer, Nile the Needle Queen, dan yang terakhir adalah Aire the Witch"

"Apakah dia benar-benar seorang penyihir?" dia bertanya kepadaku.

"Mungkin saja, aku tak tahu" balasku singkat.

"Aku ingin bertemu dengan penyihir walaupun sekali selagi aku masih hidup" ucapnya.

"Kenapa begitu?" Aku sedikit bingung, aku yakin bangsa Aria membenci para penyihir secara totalitas tapi gadis ini, ia sedikit berbeda dengan yang lain "Kamu agak unik ya"

"Sejujurnya, aku ingin mencoba untuk melawan penyihir setidaknya sekali sebelum aku mati" ucapnya, wajahnya menggambarkan tekad kuat yang tak terpatahkan.

"Kalau begitu, aku akan mendukungmu dengan segala apapun yang kumiliki" ucapku merespon tekadnya "hingga kelak kamu takkan merasa gentar ketika berhadapan dengan penyihir."

"Ya! Aku pasti tak gentar" balasnya tanpa keraguan sedikitpun.

Aku dulu selalu berfikir kalau pejuang itu adalah sosok yang bodoh, mengapa? Karena mereka dapat dengan mudahnya membuang nyawa mereka dengan mengatas namakan kehormatan Ksatria. Namun sekarang aku paham dengan keteguhan hati mereka ketika berhubungan dengan pertempuran. Mereka bukan membuang nyawa mereka dengan sukarela, tapi mereka mengerahkan segalanya dari awal sampai mereka tumbang. Logika mereka simpel, "Yang bertahan sampai akhir adalah pemenangnya". Itulah yang kupelajari dari para prajurit di karavan ini ketika mereka berhadapan dengan para penyamun, itu hal yang simpel bukan?.

Belakangan ini aku menyadari bahwa bangsa Aria sebenarnya baik, mereka tak kejam seperti apa yang ada dikisahkan oleh para pelaut dari kampung halamanku, apalagi Khalesha, ia sangat ramah kepadaku, ia adalah teman pertamaku di benua ini.

"Sarah, masuklah ke dalam" ucap Khalesha, sorot matanya berubah menjadi tajam, ia mencabut pedang dari sarungnya, pedang itu berkilau keperakan, aku yakin pedang itu sangat tajam karena selalu dirawat dengan baik.

"Apa yang terjadi?" Tanyaku, walupun aku sudah menerka apa yang datang tapi aku tetap bertanya.

"Kita diserang, oleh sesuatu yang berbahaya" balasnya singkat sembari menutup mulut gerobak dengan tirai.

"Penyamun?".

"Bukan, jauh lebih berbahaya dari penyamun".

"Apa itu?"

Kesunyian menyebar ke segala penjuru, semburat senja tak lagi tampak, langit menjadi malam yang penuh dengan bintang-bintang, sungguh janggal.

"Penyihir"

O0O0O

A Beauty of DesertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang