Rasanya menyengat. Dan ketika darah keluar, sensasinya makin memburuk. Kepalaku ikut pening dibuatnya.
Apa ini rasanya ambang kematian?
Sejak dulu, aku selalu mendambakan kematian heroik. Pengorbanan diri untuk kehidupan orang yang lebih banyak, menyelamatkan orang-orang tersayang, mengabadikan namaku dalam kenangan masyarakat.
Mimpi konyol seorang laki-laki puber, huh. Barulah ketika usia 25 aku sadar bahwa itu impian kekanakan yang muluk-muluk.
Saat itu, kurasa untuk tidak mati karena beban kerja menumpuk sudah lebih dari cukup. Aku bahkan kadang mesti tidak tidur tiga hari untuk lembur. Kudengar, dari kasus yang paling parah, rekan kerjaku ada yang meninggal karena serangan jantung (meski perusahaan langsung mengonfirmasi kalau itu sama sekali tak memiliki keterkaitan dengan kegiatannya di kantor).
Namun, asa itu kembali muncul kala monster itu datang.
Pintu menuju dunia lain terbuka dan monster-monster keluar. Hampir sebagian besar sektor kehidupan luluhlantak. Populasi manusia juga digerus hingga setengahnya.
Kini tak ada lagi yang namanya pemerintah, nilai uang, bahkan hukum.
Namun, itu justru membuatku bergairah.
Ya, ya. Kau pasti menyangka aku semacam psikopat atau seorang anak yang terjebak dalam tubuh laki-laki dewasa.
Katakan sesukamu dan persetan dengan semua itu. Sebagai penikmat cerita seru, ini mirip mimpi yang jadi kenyataan.
Pengandaianku menjadi seorang pahlawan gagah berani yang menuntun manusia menuju kejayaannya kembali mungkin saja terwujud.
Tapi, seharusnya aku sadar kalau sejak awal aku bukan tokoh utama. Bersamaan dengan monster-monster muncul, orang-orang juga kedapatan kekuatan supranatural.
Aku tidak mendapat kekuatan yang bagus, tapi juga tidak jelek. Cukup untuk mempertahankan diri dari monster kelas rendah. Aku bersama 20 orang lain membentuk kelompok, membangun koloni, bahu-membahu membasmi monster dan bertahan hidup.
Ini tidak se-spektakuler yang kuperkirakan, tapi rasanya tetap menyenangkan. Aku tak lagi tertekan karena beragam tuntutan tak perlu. Aku mengenal banyak orang dari berbagai latar belakang dan saling berbagi pengalaman.
Apa yang orang anggap kiamat, justru berubah menjadi nirwana bagiku.
Ya. Aku tahu, kalau lagi-lagi ini bukan semacam dongeng aksi bahwa semua akan bahagia hingga maut memisahkan.
Claire, juru masak yang mempunyai skill Masak Instan (kemampuan yang bisa merubah bahan apa pun menjadi bisa dimakan) meninggal setelah terluka parah dalam penyerbuan monster.
Kondisi makin diperburuk kala Danny, pemimpin kami, terserang virus tak diketahui setelah menyantap daging monster.
Satu per satu dari kami mulai memisahkan diri. Setiap malam, selalu saja ada yang pergi. Malam pertama, Jack dan Wilson. Malam kedua ada Belle, Arnold, Vanya, dan Barry. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Aku ikut pergi juga bersama rombongan Watson. Itu grup berisi lima orang yang kompeten. Liz dengan kemampuan penyembuh, Draco yang biasa di garis depan, Watson yang ahli dalam mengintai, Salazar yang bisa memberi kerusakan besar dalam sekali serang.
Aku? Aku pernah bilang kalau skill-ku biasa-biasa saja, tapi bagaiama pun, aku mesti memaksimalkannya.
Skill-ku adalah Berjalan di Atas Air. Itu benar-benar kemampuan yang begitu biasa hingga terdengar membosankan.
Tapi, berkat itu, aku bisa menjadi seorang pengangkut barang yang fleksibel. Aku juga mempunyai keuntungan lebih bila terjadi pertarungan di dekat sungai atau danau. Tidak, tidak, kemampuan ini bukannya membuatku bisa mengendalikan air, tapi efeknya hanya sesederhana yang kau pikirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATURED (Reincarnated as Emotionless Monster)
FantasyPortal ke dimensi terlarang terbuka. Serbuan gerombolan monster secara masif. Kemunculan jendela virtual seperti pada dunia game. Sempat kukira ini semua akan menjadi cerita pasca-apokalips yang keren ala-ala cerita webtoon dan novel-novel timur. Ta...