Yang Lain

17 2 0
                                    

Aku mencerna apa yang baru saja kudengar. Aku juga mencermati makhluk yang terkapar di depanku.

Setelah dipikir-pikir, sepertinya itu semua hanya imajinasi belaka. Aku tak tahu gestur apa yang dibuat makhluk sepertiku ketika bicara, tapi pada akhirnya, suara takkan keluar kalau kau tak membuka mulut, 'kan? Karena ketika kulihat kembali, mulut makhluk itu masih terkatup rapat (itu kalau perkiraan kalau yang kutunjuk sekarang adalah mulutnya, sih).

"To-long."

Namun, suara itu terdengar lagi dan kali ini makin jelas. Salah satu matanya melihatku. Pupilnya membeliak.

"Ka-u. Di sana. To-long." Aku melihat ada celah kecil di antara mulut dan kepalanya yang tersambung. Sepertinya benar dia yang bicara. Jadi begitu caranya dia berkomunikasi?

Aku membeku. Terjebak dilema dalam situasi yang sejujurnya masih membingungkan.

Aku mendekat lagi. Konsep tolong-menolong memang bukan logika berpikir yang terlalu rumit. Bahkan koloni semut dan lebah menjalankannya sejak purbakala, bahu-membahu menjaga kelestarian eksistensi mereka.

Tapi, konsep tolong-menolong pada spesies yang ditakdirkan untuk saling serang begini? Ini lebih mirip harimau yang enggan memakang daging. Jadi asumsinya ada dua, entah yang satu ini punya tingkat kecerdasan tinggi atau punya kelainan.

"To-long."

Itu ketiga kalinya dan sepertinya dia hampir sekarat. Aku akhirnya memutuskan untuk menolong.

Kurasa, kalau dia punya kecerdasan, ini akan menjadi lebih mudah. Aku bisa mengenali diriku sendiri dan mungkin punya teman seperjalanan yang kuat. Kondisinya juga tak memungkinkan untuk menyerang.

Aku mengulurkan salah satu tangan (atau kakiku, ya?). Dia meraihnya. Itu proses yang tak terlalu rumit, ternyata.

Dia bisa tengkurap kembali. Aku bisa mendnegar desisan panjang dan pergerakan udara di sekitar yang kalang-kabut. Sepertinya dia baru saja menghirup banyak udara karena terlalu panik.

"Aku selamat. Aku selamat. Aku selamat!"

"Sama-sama," tegurku. Agak kaget juga mendapatinya tak tergagap. Ternyata yang barusan itu karena kondisinya tertekan.

"Kau ..." tukasnya kala melihatku lagi. Dia menekukkan kaki, sepertinya hendak membentuk gestur membungkuk. "Terima kasih. Terima kasih."

Oke. Ini makin aneh.

Awalnya, aku hanya berasumsi kalau dia merupakan kasus yang speial. Tapi, perlakuannya barusan adalah pertunjukkan tata krama yang terlatih. Memang, ada beberapa metode untuk melatih hewan agar dapat melakukan kegiatan tertentu secara cermat, tapi itu butuh proses panjang. Dan dia takkan punya waktu untuk melakukannya, lagi pula diajarkan oleh siapa?

Karena itu, aku hanya punya satu kesimpulan terakhir: "Kau ... bereinkarnasi juga, ya?"

*#*

"Aku tak pernah menyangka akan bertemu 'manusia' lain di sini. Kau tahu, ini benar-benar serupa mimpi buruk. Tapi, kedatanganmu? Itu baru namanya keajaiban."

Dia memperkenalkan diri sebagai Kataoka Matsurugi. Sebelum meninggal dan terkirim ke sini, dia adalah salah satu survivor yang berasal dari Jepang.

"Saat itu anggota kami melakukan raid, tapi ternyata informasi yang didapatkan salah. Monster yang kami lawan terlalu kuat dan kami tewas. Aku menjadi yang paling terakhir mati dan menyaksikan kepergian teman-temanku."

Saat itu tak ada perubahan pada ekpresinya (lagi-lagi penjelasan ambigu, ya, karena mana mungkin seekor makhluk setengah kecoak setengah kalajengking seperti kami punya 'ekspresi' yang bisa ditafsirkan). Namun, dari caranya bercerita, sepertinya itu pengalaman yang cukup tragis.

NATURED (Reincarnated as Emotionless Monster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang