Sekali lagi Eggi melihat awan yang berarak di langit. Tubuhnya yang terlentang seakan-akan enggan untuk bangun. Jari jemarinya berusaha untuk bergerak namun semakin keras Eggi berusaha semakin pusing yang dirasa.
"Kalau langit dengan ikhlasnya menawarkan awannya padaku, mungkin tidur disinipun tidak buruk juga" Ujarnya sambil terkekeh. Tidak selang lama tawanya berubah jadi erangan sakit. "Aduhh! Duh! Sialan!" Dia berujar sekenanya. Es Teh hangat tiba-tiba hadir di sampingnya. "Eh apa lagi ini?" Eggi heran terlebih ada sesosok yang jongkok di dekatnya. Lebih heran lagi dengan barang yang dibawa.
"Sudah lama ngontrak di sini Bro?" Anak itu memungut kacamata yang agak pecah dan meletakkan di dada Eggi. "Mohon maaf bukannya menggurui, tapi kalau dipukul bukannya harus pukul balik ya?" Anak itu memasang muka heran. Eggi tidak menjawab dan mulai bisa duduk dengan menggerakkan tubuhnya.
Es teh yang masih hangat itu segera diminum Eggi yang menahan sakit di pipinya. Hanya dalam hitungan detik tersisa plastik bekasnya "Nah ini kubuang ke situ ya, jangan dibuang di sini." Anak itu beranjak ke tempat sampah. Di hatinya, Eggi memunculkan berbagai macam pemikiran. Kenapa Ayahnya tidak ada di kehidupannya. Kenapa orang dengan begitu mudah membenci orang lain. Dan yang lebih aneh lagi kenapa ada orang asing yang membawa minuman. "Hmmm...Eh.....Siapa ya Kak?" Eggi agak ragu untuk mengeluarkan suaranya.
"Biasa saja Bro, nih seragam kita sama dan kita satu tingkat loo!" Dia menunjukkan kartu peserta yang dibuat seaadanya. "Ayo segera berangkat kita sudah telat MPLS hari pertama nih!" Anak itu memapah Eggi sebisanya dan mereka berdua menuju gerbang sekolah yang tertutup. "Namaku Sapta."
Sebagi guru BK yang baik dan profesional, Bu Candy mendengarkan cerita dua siswa baru itu di salah satu ruangan yang tertutup. Ruangan yang konon sangat ditakuti oleh seluruh siswa SMAN 1 Uceng itu kini ada di kendali Bu Candy. Semua masalah yang mendadak dan sangat genting pastilah dibahas di situ. Sapta dengan menggebu-gebu menjelaskan semua hal yang dia saksikan dan dengan segala informasi yang sensitif itu Bu Candy tiada bergeming. "Ibu sebagai Guru BK bukankah punya kewajiban dalam melindungi dan mengayomi siswa apalagi di situasi seperti ini!" Sapta meninggikan intonasinya. Eggi yang sedari awal duduk dipojokan tetap menunduk ke bawah disertai keringat dingin yang terlihat jelas di kening. Seakan akan mencari uangnya yang raib pagi tadi, namun nyatanya yang raib adalah nyalinya sendiri.
"Kalian berdua siswa baru, dan ingat ini masih masa MPLS!" Bu Candy tetap memasang muka datar. "Bukankah kesan pertama itu poin yang sangat vital di segala situasi ya?" Sapta dan Eggi kurang paham mau dibawa kemana kalimat Bu Candy. "Murid yang belum secara "resmi" masuk sekolah ini tiba-tiba bermasalah dengan salah satu siswa unggulan. Bayangkan nasib kalian setelah ini!" Belum sempat Sapta menyangkal Bu Candy menimpal "Murid yang belum secara "resmi" masuk sekolah ini bermasalah dengan keluarga komite sekolah?" Sapta langsung beranjak dari sofanya "Siswa senior melakukan bullying kepada junior yang belum "resmi" merupakan pembenaran di sekolah ini?" Bu Candy menyeringai untuk pertama kali dihadapan kedua anak yang memasang wajah kaget itu. "Perundungan atau bukan semua itu sangat relatif. Tindakan represif akan selalu diwajarkan selama membawa tujuan dan niatan baik. Bayangkan saja, mental tentara suatu negara akan hancur apabila pelatihan hanya memperhatikan sisi kemanusiaan. Karena di medan perang sesungguhnya, tidak ada namanya kemanusiaan." Sambil menunjukan wajah kecewa Sapta berujar "Lihat wajah yang lebam itu, itu sakit Bu! Namun setelah penjelasan yang Ibu berikan lebih sakit di hati!" Bu Candy kembali ke mode wajah datar "Jika kalian laki-laki hadapi masalah dengan tegar dan jadilah dewasa, di masa yang serba tanggung ini, dunia tidak butuh lagi sekumpulan pengecut yang buta akan realita. Ibu akan panggil anak itu kita selesaikan hari ini! Paham!"
Suasana ruangan hening sepeninggal Bu Candy. "Namamu Eggi kan?" Sapta tiba-tiba bertanya kepada Eggi yang semakin jelas terlihat gugup, malah cenderung jadi penakut. "I..i...iya Kak" jawab Eggi sambil membetulkan letak kacamatanya yang sedikit turun. "Chill ... biasa aja Bro, panggil nama aja!" Sedikit ragu Eggi menjawab "I..i...iya Ka..eh Bang.....eh.eh Sat..eh..Sap maksudnya" Eggi semakin ketakutan "Yang luka wajahnya kok otaknya yang kena parah....aish bercyanda..ha ha hhaa haa" Sapta berusaha mencairkan suasana namun hanya suara gagak yang malah terdengar. Di tengah suasana canggung kedua anak yang belum bisa dianggap sahabat itu muncul Bu Candy dengan diikuti seorang siswa. "Ibu sudah membuat surat pernyataan yang isinya adalah kesepakatan damai antara pihak yang bertikai. Tidak lupa kontrak apabila kembali membuat gaduh akan bersedia menerima segala konsekuensinya" Sapta yang mendengar surat pernyataan serba ambigu itu tahu sebenarnya akan mengarah ke mana. "Bu Candy, sebenarnya kesalahan ada pada diri saya! Surat pernyataan yang membebani anak baru ini sekiranya tidak diperlukan. Biarlah saya langsung mendapatkan sanksi dari Guru Tatib!" Anak kelas XI yang mengikuti Bu Candy itu menyela. "Dio, dalam menyikapi masalah ini kita harus bijak, langkah yang tepat Ibu rasa adalah dengan membuat surat pernyataan ini." Sapta yang sudah tidak bisa menahan emosi sudah bersiap memukul anak kelas XI yang berperawakan tinggi itu, namun tanpa diduga Eggi mengulurkan tangannya yang masih terlihat lebam untuk berjabat tangan dengan seniornya. Hari pertama MPLS dua siswa yang terlambat ini diakhiri dengan persetujuan damai. Pemaksaan sebuah kedamaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Klise
Teen FictionKetika luka hingga kehampaan hati semakin menjadi, benarkah rasa benci bisa menjadi cinta? Nb: Ekspektasi update setiap hari Minggu, bergantung ide.