Tidak ada prasangka apapun ketika aku membuka pintu beberapa saat yang lalu. Hingga aku melihat dengan jelas wajah itu lagi. Wajah yang selalu aku sangkal bahwa aku merindukannya.
Masih sama, hanya lebih maskulin dan terlihat letih.
Lingkaran hitam di kedua matanya tampak nyata, tetapi sorot matanya yang tajam dan dingin itu lebih dominan. Tulang pipinya menjadi lebih tegas, begitu pula dengan rahangnya. Dia benar-benar lebih kurus dari terakhir saat ia meneteskan air mata ketika menatap kepergianku.
Kesadaranku kembali, dengan cepat aku mencoba menutup pintu. Sayangnya tidak lebih cepat dari tangannya yang menahan agar pintu tetap terbuka. Sejengkal dia bahkan telah memasuki area terlindungku.
"Aku mohon, dengarkan aku dulu dan semua keputusanmu akan aku hormati setelahnya." Pintanya.
Dari banyaknya hari, entah mengapa aku harus melihatnya lagi hari ini. 21 Maret, ketika vernal equinox. Hari yang cerah di musim semi. Tidak dapat dipungkiri meskipun aku dilingkupi kembali dosa dengan membukakan pintu untuknya, tetapi kehangatan itu kembali bisa aku rasa. Sungguh munafik.
"Kenapa kita bertemu lagi?" Tanyaku.
"Karena aku ingin bersamamu lagi." Jawabnya.
"Kak, kamu tahu.... kita tahu, apa yang kita miliki itu dosa." Aku sungguh lelah, marah.
Lelah mengingatkannya, marah bahwa aku juga harus menyadarkan diriku sendiri, lagi.
"Tidak lagi, aku sudah tidak beristri."
Kemarahan yang sudah ada di ujung lidahku pun mati. Bagaimana bisa? Apa dia sengaja menceraikan istrinya dan kesini? Sungguh laki-laki brengsek.
"Sani sudah meninggal, 2 tahun lalu. Ternyata dia tidak berhasil melawan penyakitnya."
Kemarahan itu semakin tidak bersisa. Dibanding marah, aku menjadi semakin ingin membenturkan diri pada tembok.
"Secara tidak langsung, aku telah membunuhnya."
"Letta, aku sudah berkali-kali katakan, kamu tidak ada hubungannya dengan penyakitnya."
"Dia sedang berjuang, dan aku berada di antara kalian. Kamu pikir aku bodoh? Tentu saja dia termakan pikirannya sendiri dan keadaannya semakin memburuk. Hingga ia... ia... menyerah." Kataku berapi-api.
"Aku yang pantas disalahkan, kamu tidak ada sangkut pautnya."
"Aku... pembunuhnya. Aku sudah membunuhnya... Aku membunuhnya kak Wira.. aku membunuhnya." Teriakku.
Aku semakin terisak, rasanya begitu sesak ketika menyadari bahwa dirimu adalah orang yang paling bersalah hingga seseorang menjadi begitu depresi dan meninggal.
Aku masih menyalahkan diri, terus bergerak kesana kemari tidak tentu, sambil terus berteriak, menangis.
Hingga aku merasakan kak Wira mendekapku.
"Kamu bukan pembunuh sayang. Maafkan aku. Tapi jelas aku katakan bahwa kamu bukan pembunuh." Hiburnya.
Aku masih terus menangis. Bahkan menangis dalam pelukannya rasanya menambah dosa ku untuk yang kesekian kalinya. Tapi bolehkah aku egois kali ini?
Jauh dalam lubuk hatiku, aku sungguh membutuhkan seseorang, rasanya trauma ku kembali, episode yang berkali-kali aku hadapi selama 5 tahun terakhir itu rasanya mengintip ingin mencuat lagi. Aku tidak ingin menjadi gila lagi. Aku sudah sembuh. Aku tidak ingin menjadi diriku yang gila. Aku sudah meninggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is not for us (Kim Jisoo x Jeon Wonwoo) Oneshot - COMPLETED
Fanfictioncinta....... itu bukan untuk kita