Jeno menggulir tab nya, memperhatikan dengan seksama data diri milik seseorang yang akan menjadi calon istrinya.
"Orang miskin ya?" Ia menimang-nimang kembali keputusannya, walau tak bisa ditolak namun ia bisa memilih kan?
Ia mendial nomor ponsel milik Yuta, menghubungi si tua bangka itu guna negosiasi.
"Hei, bisakan pilihkan yang sedikit kaya?"
"Tidak." Sambungan terputus sepihak.
"Sial Na Yuta itu." Ia melempar tabnya.
-
"Kau siap?" Jaemin menatap ragu manik milik Yuta.
"Aku.. sedikit ragu," ia menggosok-gosokkan kedua tangannya.
"Jangan ragu, ini misi penting bagimu, menyangkut ibumu."
Jaemin kini mengangguk mantap, aku rak pernah melihat ibu, mungkin ini bukti bakti ku padanya— pikirnya.
Jaemin dipersilahkan keluar dari mobil untuk menemui Jeno yang menantinya dalam ruang kerja.
Ia memusatkan atensi pada sekelilingnya, mulutnya membentuk huruf O.
"Orang kaya memang luar biasa," gumamnya kala melihat bangunan tinggi menjulang dihadapan, seperti dijavu, "ini yang mereka sebut rumah? Gila, kolam ikannya saja lebih luas dari rumahku."
Setelah selesai mengagumi bangunan tinggi itu, ia digiring menuju ruangan Jeno.
"Saya harap anda sesuai kriteria Tuan Jeno," tutur seseorang yang ada di belakang.
"Tenang saja, aku mudah beradaptasi," jawab Jaemin percaya diri.
"Dia tidak suka orang miskin, yang ia pikirkan tentang orang miskin adalah manner yang buruk. Namun setelah ku lihat, kau terlihat berkelas dibanding orang miskin lain. Walau sifat norakmu masih saja melekat."
Orang berjas itu membukakan pintu yang Jaemin duga adalah ruangan kerja Jeno Lee yang sering ia dengar namanya di televisi.
"Silahkan, tidak ada yang dipersilahkan masuk kecuali diperintah."
Jaemin menarik nafasnya, memantapkan hal yang akan dijalankan kedepan. Pernikahan. Walau hanya satu bulan lamanya namun ia sedikit ragu.
Kaki jenjangnya melangkah maju, dengan degupan jantung yang mengiringinya.
Ia lihat disana, disebrang sana. Lelaki yang akan menjadi suaminya, lelaki yang biasanya hanya ia lihat di televisi kini dihadapannya. Dengan hidung bangir menahan kacamata yang menggantung serta tangan besar yang memegang pad nya. Terlihat tampan, itu pikirnya sejenak setelah lelaki itu menatapnya tajam.
"Kau? Kim Jaemin itu?" Tanya nya.
Jujur saja Jaemin ingin menguburkan diri sekarang juga, lelaki didepannya ini terlalu mendominasi atmosfer sekitar.
Jaemin menggeleng dalam hati, ia tegakkan dadanya, "benar, saya Kim Jaemin. Calon istri anda," mantapnya.
Jeno menyeringai, menurutnya orang miskin dihapannya ini sedikit menarik.
"Haha, tak perlu terlalu formal. Aku ini calon suami mu."
Mendengar hal itu Jaemin gelagapan, dua kata itu sudah cukup membuatnya yakin akan misi ini.
Ia mengangguk malu-malu, "saya akan berusaha satu bulan ini."
Kekehan Jeno membuat Jaemin yakin ia akan berhasil dalam misi.
"Jadi apa tujuan mu jauh-jauh kemari?"
Jaemin mendekat, menyerahkan satu amplop besar berwarna coklat, "saya disuruh tuan Na Yuta agar anda menandatangani ini."
Kontrak.
Jeno mengangguk-angguk paham, "setelahnya kau ingin minum kopi?" Tawar yang lebih tua, sembari menandatangani surat perjanjian itu.
Jaemin mengangguk setuju.
Jeno menuntut Jaemin guna mengikutinya, "Kemari lah."
Duduk di gazebo kecil dekat kolam dengan masing-masing disuguhi secangkir kopi pahit, membuat suasana layaknya sudah berkeluarga.
"Kenapa kau mau membantu ku?" Kata Jeno memulai percakapan.
Kini Jaemin paham, ini semacam diskusi.
"Karena saya dibayar." Jawabnya tanpa babibu.
Jeno terkekeh, "ya, yang itu memang dibayar. Namun kenapa Kau mau menjadi pengganti calon istriku, jawablah secara personal."
Jaemin memegang erat cangkir kopinya, "menurutku jika tuan Jeno tak segera mendapat calon untuk pernikahan, segalanya yang dipersiapkan akan sia-sia, dan aku tak suka menyia-nyiakan sesuatu. Jadi aku setuju."
"Bisakah sedikit lebih jelas lagi? Maksudku, dari dirimu sendiri, bukan karena aku ataupun Yuta."
"Em, mungkin karena aku sudah terlalu muak menjadi orang miskin."
Setelah pertemuan singkat antara calon pengantin itu Jaemin kembali ke kediaman Yuta, memberikan kabar bahwa Jeno menandatangani kontraknya dengan enteng.
"Kau senang heh?" Mulut Jaemin menyindir.
Yuta tertawa terbahak, "tentu saja, kau memang berguna dibanding si kecil satu itu."
Jaemin menyeruput kopinya, lalu mendesah panjang, "beginikah kehidupan orang kaya."
Matanya terpejam, apa ia bisa— itu yang sedari tadi ia pikirkan. Takut-takut kalau saja ia membuat kesalahan sedikit pun ia kan tamat.
"Tak perlu khawatir seperti itu, aku ada dibelakangmu." Yuta mengelus pundak anak bungsunya itu.
"Bisa kau pukul aku?"
Tanpa aba-aba Yuta mendatarkan pukulan pada lengan sang Leo, "Aduh!"
"Kau yang minta."
Jaemin menghela, "ternyata bukan mimpi ya. Aku takut, takut setengah mati."
Mimpi yang selama ini ia dambakan kini terwujud terlalu nyata, membuat ia takut. Mimpi, tetap harus menjadi mimpi.
Yuta mendengus kasar, "baru satu hari menjadi orang kaya kau sudah takut begitu? Santai saja, kendali ada ditangan ku."
"Apa aku benar-benar akan menikah? Bagaimana kuliahku? Pekerjaanku? Teman-temanku?" Jaemin melempar tanya begitu tiba-tiba.
"Hey, santai. Kuliah mu akan tetap berjalan lancar, sudah ku tulis di perjanjian yang kau antar tadi. Lalu berhentilah dari pekerjaan tak ber-untungmu itu, kau sudah kaya sekarang. Lagipula teman mu kan Renjun, kembaranmu." Jawab Yuta secara beruntun pula.
Jaemin beranjak dari duduknya, "aku akan ke kamarku," lalu melenggang begitu saja tanpa persetujuan si ayah.
Yuta menatap nanar pundak anaknya itu, "rasanya aku tak asing dengan postur itu." Ia menimang-nimang pikirannya. "Mungkin karena aku melihat data dirinya."
Jaemin merebahkan badannya pada kasur empuk yang sebelumnya belum pernah ia miliki. Menghela panjang lalu memejamkan mata erat-erat, "ku harap ini mimpi."
Sayangnya bukan, "Apa keputusanku sudah tepat?"
To be continnue...
KAMU SEDANG MEMBACA
New Person | Nomin
RandomJaemin terpaksa menikahi seorang konglomerat kejam demi membalaskan dendam ayahnya. DISCLAIMER - BXB - NOMIN AREA (Jeno Jaemin) - Violence , fights , murders , plot twists - Pemilihan kata baku (rata baku)