01

1.4K 227 1
                                    

"Makasih pak."

Lelaki muda itu membungkuk sopan pada para petugas jasa pemindahan barang yang membantunya, lalu berbalik untuk memandangi rumah barunya.

Sebuah rumah cluster.

Kalau dibandingkan dengan rumah sebelumnya, tentu saja ini jauh bukan apa-apa. Namun ini tetap rumah yang besar bagi dirinya yang sekarang hanya sendiri.

Lokasinya pun cukup strategis. Dekat dengan sekolah, dan juga supermarket.

Dia juga diberi izin untuk membawa mobil yang sudah dibelinya.

Jika semua dihitung, dengan statusnya yang sekarang berubah drastis menjadi anak yang disponsori oleh keluarga kaya, tentu saja dia tidak akan pernah bisa membayar semua ini kecuali dia dapat pekerjaan dengan gaji yang super besar. Apalagi dia sekarang masih sekolah.

Dia menghela napas dan berjalan masuk sambil mengecek pesan masuk di ponselnya.

Papa: Kieran

Papa: Semua keperluan kamu untuk enam bulan ke depan sudah saya siapkan. Bayaran sekolah kamu juga sudah saya selesaikan sampai kelulusan.

Bukan papa, tapi saya.

Papa: Kamu tidak perlu ganti itu semua.

Papa: Sebagai gantinya saya minta tolong untuk membimbing Abe di sekolah nanti.

Papa: Tolong jangan bilang kalau kamu pernah says adopsi. Dan panggil saya om/paman saja mulai sekarang.

Kieran sampai tidak berpikir untuk duduk terlebih dahulu setelah membaca deretan pesan tersebut. Dia terdiam di dekat pintu yang baru ditutupnya dengan wajah datar.

Sejujurnya dia merasa bahwa dia masih belum sadar. Kepalanya terisi penuh tapi terasa kosong di saat bersamaan. Dia tidak bisa memproses deretan kejadian yang telah terjadi dan hanya sempat menurut pada semua hal yang telah disiapkan.

Ingatannya kembali kepada percakapan pagi tadi.

Sambil menunggu para jasa memindahkan barang, dia bertanya kepada sang papa.

"Apa... yang lain udah tau?"

Papanya sempat terdiam sebelum menjawab.

"Seluruh keluarga kami sudah tau. Makanya anak-anak saya yang lain tidak ada di rumah sejak kemarin supaya kamu lebih leluasa untuk membereskan barang-barangmu."

"..."

"Sebenarnya kami sudah menemukan dia sejak minggu lalu, tapi dia harus dirawat di rumah sakit dan banyak berkas yang harus saya urus makanya saya baru bisa memberi kabar semalam."

Dia yang dimaksud tentunya Abe. Anak bungsu hilang yang akhirnya ditemukan.

"Awalnya keluarga saya bilang untuk membiarkan kamu langsung keluar saja dan hanya mengurus soal biaya sekolah, tapi saya tidak mungkin sejahat itu. Mungkin mereka juga akan tau pada akhirnya, makanya saya hanya bisa memberi kamu waktu satu tahun untuk tinggal di rumah itu."

Setelah semua barangnya diangkut, Kieran berhadapan dengan sosok papa tersebut.

"Kamu harus keluar sekarang, karena lusa dia akan pulang. Besok kami harus membereskan kamarnya."

Semakin diingat, rasanya semakin sakit.

Kieran meremat ponselnya. Dia mulai menyadari cara bicara papanya yang langsung menghapus dia dari daftar keluarga. Menggunakan kami dan saya dibanding kita dan papa. Mengatakan kalau keluarganya sudah mengetahui semua ini dan mengimplikasikan kalau mereka ingin cepat membuangnya.

Jika bukan karena kebaikan papanya, dia pasti akan menjadi gelandangan tanpa rumah.

Tidak. Bukan papa, tapi paman. Kalau perlu tuan.

Kieran mulai bergetar. Matanya menatap sekeliling ruangan, mencari sesuatu agar tetap kuat. Namun pandangannya malah berakhir pada kertas laminating yang ada di meja.

Kartu Keluarga yang sekarang hanya terisi namanya.

Dia sudah dikeluarkan secara sah karena mencapai umur legal.

Kieran jatuh terduduk dan mulai menangis.

Sekarang dia benar-benar sendirian.

CastawayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang