Prolog

187 28 11
                                    

Sendiri di tepian besi pembatas, berkali-kali Banyu menoleh ke belakang. Mencari sesosok manusia yang ia harapkan datang untuk membawanya pulang.

Detik demi detik, menit serta satu jam sudah berlalu. Leher Banyu pun sudah lelah dan pegal.

Banyu Langit menatap derasnya arus sungai di bawah sana dengan seksama. Bau lumpur bahkan tak absen menyapa hidung bangirnya. Dan di kegelapan sekalipun, ia bisa menebak bahwa arus sungai yang mengalir di bawah sana sangatlah deras. Mengingat hujan yang tak henti mengguyur kota sejak pagi.

Pemuda di penghujung usia 17 tahun itu memegang pagar pembatas dibelakangnya dengan hati bergemuruh kencang. Ia memejamkan mata. Berusaha meyakinkan diri untuk melawan rasa takut di dalam diri. Ia sungguh tak ingin mati. Namun, untuk hidup lebih lama saja Banyu tak menemukan tujuannya. Ia tak tau hidup untuk siapa.

Di kepalanya sibuk menerka, dinginnya temperatur air saat bersentuhan dengan kulit. Apakah dirinya akan langsung mati? Atau merasakan sekarat terlebih dahulu? ───pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Mungkin sebentar lagi ia akan menemukan jawabannya.

Banyu terdiam sejenak ketika ponsel yang tergeletak rapi di atas sepatu yang ia letakkan di samping kakinya mengeluarkan suara notifikasi. Tanpa pikir panjang, ia segera meraih benda itu lalu membukanya. Pemuda itu sungguh berharap ada yang menghentikannya kini. Agar ia bisa percaya untuk hidup lebih lama. Agar ia memiliki alasan untuk tetap bertahan di dunia.

Namun, ekspektasi memang selalu lebih besar dari realita. Perlahan, warna wajah Banyu semakin kelam. Giginya bergemelatuk. Ia taruh kembali ponselnya dengan layar menyala di atas sepatu setelah mengetikkan balasan. Kembali ia tegakkan diri menghadap ke sungai.

Menghitung detik demi detik. Hingga alarm di ponselnya berbunyi, menandakan malam telah menginjak pukul dua belas teng. Ia pejamkan mata, seraya memohon ampun kepada Tuhan. Meskipun Banyu sendiri sadar, Tuhan tak mungkin memaafkan tindakannya kali ini. Ia semakin yakin untuk menutup usianya kini.

Dengan kemantapan hati, akhirnya Banyu melangkah menerjang angin, menghantam derasnya arus sungai yang dengan cepat menelan tubuhnya.

Di dalam sana, Banyu benar-benar tercekat. Ia tak mampu melihat apa-apa sebab air itu tidaklah jernih. Tangannya berusaha menggapai apa saja di sekitar, tapi yang ia raih hanyalah air dan air. Napasnya tercekat, air keruh itu mulai memasuki hidung serta mulutnya. Banyu benar-benar merasa sekarat.








Satu ....







Dua ....






Tiga ....






Empat ....







Dan saat itu juga, sebuah batang pohon besar menghantam tubuhnya dari belakang. Bertepatan dengan itu, ponsel Banyu di atas sana menyala, satu pesan baru muncul di layarnya.





Abay

Bay, gue capek|
Gue mau lompat ke sungai|
Terkirim 22.30

|Wkwk
|kyk yg berani aja.

Sampai ketemu di alam lain|
Tolong bilang ke mama sama papa|
Banyu sayang mereka|
Terkirim 23.58

|Nyu
|Lo lagi bercanda kan?










· · ─────── ·larung· ─────── · ·

11 November, 2023.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang