04. The Storm

812 147 142
                                    

Naskah berikut ini tidak berhubungan langsung dengan visual pengisi karakter.

Terdapat beberapa klausa tidak pantas, harap betul-betul sikapi dengan bijak dan perhatikan tagar peringatan di bawah ini;








⚠️ TW // Dark history, harsh word, suicide, blood, knife, violence, sexualities, etc. (17+) ⚠️









Sepekan selepas kejadian hari itu Jarek belum bertemu lagi dengan Sergio. Mia mengurungnya di dalam kabin ─lebih tepatnya keadaan Jarek sendiri yang memasungnya sampai mengangkat bokong dari atas tempat tidur barang sebentar pun tak bisa.

Tak ada petugas khusus yang paham bagaimana cara berhadapan dengan imun tubuh si tuan muda. Konsekuensi besar, sebab sejak awal Jarek memang tak diperkenankan melakukan perjalanan jauh apalagi sampai memakan waktu berhari-hari di atas kapal laut seperti ini tanpa didampingi dokter pribadinya. Karenanya dengan berbekal peralatan medis yang sengaja direservasi Mia sebelum keberangkatan mereka, Jarek kembali mengajukan runding agar keinginannya untuk bertahan tak pudar meski nyawanya berdenyut lebih laun dari dorongan oksigen yang berdesak masuk pada saluran pernapasan.

Seandainya Sergio bertanya-tanya kemana perginya Jarek, kantung infus ketiga yang bergoyang di atas tiang menyediakan jawaban. Jarek masih di sini, lampu meremang begitu nyeri yang mencintai raganya mengizinkannya memenangkan perang sekali lagi. Demi memenuhi janjinya pada Sergio ─meluruskan kesalah pahaman tempo hari andai Mia tiba-tiba nekat membuat heboh seisi kapal karena menembak seseorang.

Ngomong-ngomong soal Mia, ia pergi entah kemana selepas menggiring buffett attendant ke dalam kabin Jarek. Barangkali wanita itu kini tengah mencari cara untuk menghubungi Jan agar dapat melaporkan posisi mereka, sebab beberapa saat lalu crew kapal mengabarkan cuaca buruk yang mengakibatkan sulit ditemukannya signal komunikasi seharian ini. Kapal mulai terasa aneh; berkali-kali ombak menggulung geladak luar, bahkan petir menyambar deck pengamat hingga bagian itu gelap total. Aliran listrik sempat terganggu hingga para penumpang dilarang meninggalkan kabin mereka, terutama Jarek yang masih belum berada dalam kondisi prima.

Di dalam kabin nomor 15, tumpang tindih dengan kepanikan yang bersuara dari balik pintu, Jarek memperhatikan beberapa mangkuk yang tersaji di atas trolley makanan. "Apa yang baru aku lewatkan? Kenapa di luar bising sekali?" Tanyanya yang sukses menarik perhatian si buffett attendant.

Pria dengan kemeja berompi hitam dan dasi kupu-kupu itu menoleh sekilas pada Jarek, sementara kedua lengannya sibuk memisahkan mangkuk dari penutupnya. Asap mengepul, nampak menggoda meski sebenarnya Jarek tahu bahwa tak ada satupun dari makanan itu yang dapat dikecap lidahnya ─semuanya sama, kalau tidak pahit ya hambar. Mengkonsumsi obat-obatan membuatnya lupa seperti apa rasanya kuah kaldu.

"Mohon maaf atas ketidak nyamanannya, Mr. Raclawn. Ada beberapa kendala tak terduga karena perubahan prakiraan cuaca, namun anda tidak perlu cemas. Kami akan pastikan semua berjalan lancar sampai berlabuh di Amerika."

"Kapan?"

"Mungkin dua atau tiga hari lagi. Karena itu mohon kerjasamanya," sahut pria itu. Ia menghadapkan seluruh tubuhnya pada Jarek yang masih berbaring di atas tempat tidur, kemudian membungkuk. "Saya meninggalkan pelampung untuk berjaga-jaga, bila anda memerlukan bantuan silahkan segera hubungi saya."

Meski masih belum paham, Jarek mengangguk. Maksudnya.. jika situasi di luar sana memang tak semengkhawatirkan itu untuk apa para crew menggembar-gembor agar semua penumpang mengenakan pelampung mereka?

LEVANTER || Jake Shim [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang