"Mama sudah berulang kali bilang, jangan melewati garis ini! Apakah kamu tidak mengerti apa yang Mama katakan?" tegur seorang wanita, sambil menunjuk garis di depan pintu kamar anaknya.
Anak perempuan dengan rambut dikepang itu hanya bisa diam menundukkan kepalanya, saat kemarahan ibunya semakin membara.
"Kamu tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu keluar dari sini, Sasa. Dunia itu kejam! Dunia sangat kejam untuk anak seperti kamu. Mama mencintaimu, itulah sebabnya Mama melarangmu melewati batas yang Mama buat!"
Setelah mengucapkan peringatan itu, wanita muda berusia 24 tahun yang tadinya marah itu meninggalkan kamar anaknya.
Sasa, anak perempuan berusia tujuh tahun, mendongak dengan wajah cemberut.
"Kenapa sih? Aku hanya ingin mengambil pesawat kertasku!" keluhnya kesal.
Sasa berjalan menuju pintu sambil menghentakkan kakinya. Dia mencoba memutar gagang pintu berulang kali dengan kasar, tetapi sia-sia, pintu itu sudah dikunci. Ruangan ini telah menjadi penjaranya selama tujuh tahun terakhir.
Sasa, yang masih berusia tujuh tahun dan belum mengerti apa-apa, hanya bisa menuruti apa yang dikatakan ibunya.
Sasa berlari pelan menuju jendela kecilnya, jendela yang berukuran satu meter panjang dan setengah meter lebar. Jendela itu satu satunya tempat Sasa menatap pohon-pohon tinggi di luar, pohon yang menghalangi pandangannya ke beberapa rumah di sebelahnya, sehingga hanya atap rumah-rumah itu yang terlihat.
Dia menunduk, melihat pesawat kertasnya yang kini telah jatuh dan menyentuh rumput hijau di bawah.
"Aku iri padamu, pesawat kertas! Aku iri karena aku tidak bisa menyentuh rumput!" teriak Sasa, matanya berkaca-kaca.
Rumah mereka adalah bangunan minimalis tiga lantai yang sangat sederhana. Di lantai atas terdapat dua kamar, kamar Sasa dan kamar ibunya. Lantai dua adalah tempat dapur dan kamar mandi, sementara lantai dasar seharusnya adalah ruang tamu. Namun, ruangan itu kini telah berubah fungsi, menjadi tempat penyimpanan barang-barang yang datang setiap bulannya, kebutuhan hidup dua orang yang memilih untuk mengurung diri di dalam rumah itu.
Setiap hari, Sasa menghabiskan waktunya di kamar, melihat dunia dari balik jendela kecilnya. Dia mendambakan sentuhan rumput dan kebebasan untuk berlari di luar. Namun, dia tahu bahwa itu hanyalah mimpi yang jauh. Dia terjebak di dalam rumah, terkurung oleh keadaan yang tidak dia pahami sepenuhnya. Dia hanya bisa berharap suatu hari nanti, dia akan bisa seperti pesawat kertasnya, bebas dan bisa menyentuh rumput.
Kamar Sasa dipenuhi dengan kertas yang menempel di dinding dan buku-buku yang berserakan di atas meja. Dia sangat gemar menggambar segala hal yang bisa dia lihat dari balik jendelanya - burung, pohon, awan, matahari, bahkan dirinya sendiri yang sedang berbaring di bawah rumput. Meski gambar-gambarnya tidak rapi dan tampak berantakan, siapapun yang melihatnya pasti akan mengerti apa yang dia coba gambarkan.
Di usia tujuh tahun, seharusnya Sasa sudah duduk di bangku sekolah dasar. Namun, kenyataannya dia terjebak di dalam rumah, tanpa menyadari bahwa anak seusianya seharusnya sudah bersekolah.
Setelah lama menatap keluar jendela, Sasa berjalan dengan lesu menuju kasurnya. Dia duduk di pinggir kasur dengan wajah cemberut.
Tak lama kemudian, ibunya masuk membawa sebuah kotak. "Aku membawa pensil warna dan buku gambar baru untukmu, sayang," ucap ibunya dengan lembut. Dia meletakkan kotak itu di atas meja, teman sehari-hari Sasa.
Ibunya tersenyum manis, membuat Sasa merasa kesal. Bagi Sasa, ibunya seolah-olah tidak melakukan kesalahan apapun sebelumnya. Sasa hanya mengharapkan permintaan maaf dari ibunya, permintaan maaf yang seharusnya diucapkan oleh seseorang yang telah berbuat salah. Tadi, ibunya telah memarahinya, dan menurut buku yang dibacanya, itu adalah kesalahan.
"Terima kasih, Mama," ucap Sasa dengan lembut. Meski sedang merasa kesal, dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak memperlihatkannya.
"Sama-sama, sayang," balas ibunya, diiringi dengan elusan lembut di rambut Sasa.
Setelah merasa tidak ada lagi yang perlu dilakukan di dalam kamar itu, ibu Sasa meninggalkan kamar. Sebelum keluar, dia tidak lupa mengunci pintunya. Bagi ibunya, kunci adalah perlindungan yang sangat penting untuk Sasa.
Setelah ibunya pergi, Sasa berjalan pelan menuju meja dan membuka kotak yang baru saja diberikan ibunya. Dia mengeluarkan satu per satu isi kotak itu: buku gambar, pensil warna, oil pastel dengan 48 warna, serta beberapa pensil dan alat tulis lainnya.
Terakhir, dia mengeluarkan sebuah buku yang membuatnya tersenyum lebar.
"Se...mangat... di... ha...ri... per...ta...ma... se...ko...lah," Sasa berusaha mengeja judul buku itu.
"Sekolah?" tanya Sasa pada diri sendiri, heran.
Dia tersenyum, tidak sabar untuk membaca buku itu. Meski baru beberapa bulan belajar membaca, dia sudah bisa memahami pesan yang disampaikan oleh setiap buku.
Dia membutuhkan waktu sehari penuh untuk membaca buku sepuluh halaman itu. Dengan gambar-gambar yang melengkapi teks, Sasa menjadi semakin paham dengan isi buku tersebut.
"Terima kasih, Mama," ucap Sasa dengan lembut. Meski sedang merasa kesal, dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak memperlihatkannya.
"Sama-sama, sayang," balas ibunya, diiringi dengan elusan lembut di rambut Sasa.
Setelah merasa tidak ada lagi yang perlu dilakukan di dalam kamar itu, ibu Sasa meninggalkan kamar. Setelah keluar, dia tidak lupa mengunci pintu kamar Sasa. Karena bagi dia, kunci adalah perlindungan yang sangat penting untuk anaknya.
Setelah ibunya pergi, Sasa berjalan pelan menuju meja dan membuka kotak yang baru saja diberikan ibunya. Dia mengeluarkan satu per satu isi kotak itu: buku gambar, pensil warna, oil pastel dengan 48 warna, serta beberapa pensil dan alat tulis lainnya.
Terakhir, dia mengeluarkan sebuah buku yang membuatnya tersenyum lebar.
"Se...mangat... di... ha...ri... per...ta...ma... se...ko...lah," Sasa berusaha mengeja judul buku itu.
"Sekolah?" tanya Sasa pada diri sendiri, heran.
Dia tersenyum, tidak sabar untuk membaca buku itu. Meski baru beberapa bulan belajar membaca, dia sudah bisa memahami pesan yang disampaikan oleh setiap buku.
Dia membutuhkan waktu sehari penuh untuk membaca buku sepuluh halaman itu. Dengan gambar-gambar yang melengkapi teks, Sasa akan menjadi semakin paham dengan isi buku tersebut.
Tak terasa sudah malam, ia pun telah menyelesaikan buku sepuluh halaman itu. Setelah membaca buku, Sasa merasa semakin penasaran tentang sekolah. Dia berharap suatu hari nanti, dia bisa merasakan sendiri bagaimana rasanya bersekolah, bertemu teman-teman baru, dan belajar banyak hal baru. Dia berharap, suatu hari nanti, dia bisa merasakan kebebasan yang selama ini hanya bisa dia bayangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not A Rapunzel
Teen Fiction"I'am not a Rapunzel" adalah kisah seorang wanita muda berusia 24 tahun yang hidup dengan trauma masa lalunya. Dia memiliki seorang anak perempuan, Sasa, yang dia kurung sejak lahir, tidak ingin Sasa juga ikut merasakan apa yang dia alami saat berus...