one

8 0 0
                                    

Toronto, September 2010

Seorang gadis duduk di rerumputan taman di kampusnya sembari mengenakan earphone dan tangan yang sibuk membolak-balikan halaman buku yang ia pegang. Ia sudah berkutat dengan buku tersebut selama lebih dari dua puluh menit. Helaan napas panjang juga sudah menjadi temannya sejak beberapa jam lalu seakan ia tak menemukan jawaban yang ia cari dalam buku yang dibacanya.

"Astaga, kenapa tidak ada ya? Apa aku kelewatan lagi? Aduh! Bagaimana ini?!" monolognya sambil berdecak kecil.

Bersama beberapa orang lain yang duduk berjauhan darinya, ia terus mencari-cari apa yang seharusnya ada disana. Naas, ia tak menemukan apapun disana. Ia lepaskan earphone yang ia gunakan lalu membaringkan tubuhnya di padang rumput hijau itu. Tangannya berusaha menutupi wajahnya dari cahaya matahari yang menyilaukan mata.

Pikirannya melayang jauh di masa saat ia berperang dengan situasi sejenis ini satu tahun yang lalu. Rasanya masih sama, tidak ada yang berubah hanya sedikit lebih panik. Ia tak mengapa ia mengambil langkah ini jika akhirnya ia akan "menderita" seperti kala itu.

Ponselnya berdering dan bergetar di sakunya, diambilnya benda persegi panjang tersebut lalu menempelkannya pada telinganya.

"Eoh? wae?"

"Kau dimana? tumben sekali tidak memberi kabar belakangan ini?"

"Eoh, aku sedang—"

"Jangan bilang kau sedang melakukannya lagi, aish sudah kubilang berapa kali berhenti sejenak lah. Lihatlah dirimu, apakah kau terlihat baik sekarang?" Sahut seseorang di panggilan itu dengan cepat, seakan tahu apa yang gadis itu lakukan.

"Aku baik, baik sekali. Jangan khawatir itu tidak akan terjadi." Nada malas terselip pada jawabannya.

Bohong. Toh sudah terjadi, apanya yang tidak akan terjadi.

"Kau akan ke Korea kan minggu depan?"

"Eoh, iya aku kesana. Nanti aku akan memesan hotel saja."

"Tidak! Tinggal di apartementku saja, aku tidak mau sesuatu terjadi denganmu disini. Tidur di tempatku saja, kamarmu sudah kubersihan."

"Arraseo, gomawo ne Eunwoo oppa."

"Hm, sudah kalau begitu. Kututup saja panggilannya yang penting aku tahu bagaimana keadaanmu."

"Iya-iya, terima kasih sudah menelponku" gadis itu segera menjauhkan ponselnya dari telinganya dan kembali memejamkan mata sejenak.

Tak ada yang tahu bagaimana dunia akan berjalan atau apa yang terjadi esok hari. Rere, gadis itu beranjak lunglai dari sofa tempatnya duduk lalu berjalan menuju dapur kecil miliknya. Ia membuka kulkas, menelisik semua yang ada di dalamnya sebelum tangannya mengambil beberapa bahan makanan untuk dimasak.

"Masak apa yang mudah sajalah, aku lelah. Energiku tak banyak yang bersisa." Batinnya.

Suara putaran video terus berputar di komputernya, sengaja tak ia matikan agar terlihat ada kehidupan di apartemennya yang kecil itu. Rere sangat lihai memasak, dia pernah bekerja di beberapa restoran sebelum akhirnya memutuskan berhenti dan memilih untuk melanjutkan studinya.

Masakannya sudah selesai. Gadis bernama lengkap Theresia Andrew itu meletaknya pot panci berisi sundubu jiggae itu di atas alas yang sudah ia sediakan di meja belajarnya. Sebenarnya ada meja makan, namun ia memilih untuk makan disana sembari menonton sesuatu.

Ia menyatap jiggae yang ia buat dengan nasi hangat dan menghabiskannya kurang dari sepuluh menit. Tak banyak yang bisa ia lakukan saat ini, tubuh dan pikirannya sama-sama lelah bahkan jika ia memilih untuk beristirahat lama tanpa makan sekalipun.

"Kenapa orang-orang bisa melakukannya sementara aku tidak?" Monolognya dalam hati. Saat ini terlalu banyak kata "kenapa" yang hinggap di kepalanya hingga rasanya ingin muntah.

Terdengar ketukan pintu di apartemennya, Rere segera beranjak untuk membukanya. Ternyata Nick, sahabat sekolah Rere, datang untuk bertandang sejenak.

"Butuh apa kemari?" Tanya gadis itu penuh curiga. Sementara yang diajak bicara hanya mengendikkan bahunya, "Tidak ada, hanya mengunjungimu saja."

"Astaga, Nick! Sesuatu terjadi padamu? Kenapa kau putus dengan Elisa?" Rere bertanya sembari mengambil air dingin dari kulkas dan memberikannya pada Nick.

Laki-laki berusia 23 tahun bernama Nicholas Lee itu tidak mengindahkan pertanyaan yang diajukan Rere, menyesap air dingin yang diberikan kepadanya dan terdiam.

"Aku kurang ya?" Tanyanya dengan tatapan mencelos. Rere mengerutkan dahinya bingung, "Maksudmu?"

"Aku kurang dalam hal apa hingga Elisa memilih orang lain? Aku tidak cukup pintar kah? Aku tidak cukup tampan kah? Aku– aku memang tidak kaya, tapi itu tidak membuat semuanya terlihat buruk, kan?"

"Tidak, tentu tidak. Kau sudah sempurna dengan apa yang kau punya."

"Lantas kenapa Elisa tidak memilihku?"

Hening. Tidak ada jawaban balik atas pertanyaan yang Nick ajukan. Semuanya terdiam, yang terdengar hanyanya suara jarum jam. Baik Rere maupun Nick tidak ada yang bisa menjawab.

"Coba kau tanyakan pada Elisa esok hari, apa yang membuatnya tidak memilihmu. Lalu pikirkan caramu untuk melupakannya. Aku tahu ini terdengar sangat teoritis bahkan nekat tapi bisa kau coba, setidaknya kau tahu apa yang membuatnya begitu. Kita tidak bisa menilai diri sendiri baik jika orang lain tidak menilai diri kita baik juga."

Hai! Captain Dae here! Haha it's been a longgg time since the last time i wrote something in this platform but here i am. Oh iya, untuk cerita yang berkaitan dengan Chen aku unpub semua due the artist privacy, jadi aku nulis cerita baru disini. Mungkin akan agak beda dari genre sebelumnya, tapi cerita-cerita disini aku tulis sebagai coping mechanismku for my bpd treatment. hope u guys understand! see you, byee!

Is Not About Me, but HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang