I sit and watch you

7 0 0
                                    

Perempuan itu terbangun dan melirik jam digital di nakas. Angka 02.30 terlihat buram karena matanya masih berusaha menyesuaikan cahaya remang dari lampu utama yang menyala.

Ah. Dia ketiduran.

Ia lantas melirik ke sisi kanan tempat tidur. Seprai dan bantal tampak rapi, persis sebelum ia tak kuasa menahan kantuk dan akhirnya terlelap setelah menunggu enam jam dari waktu yang telah dijanjikan kepadanya.

Kirana lantas bangkit dari kasur, memilih untuk keluar dan beranjak ke ruangan di seberang kamarnya.

Celah di atas pintu itu tampak terang, seolah membenarkan dugaan bahwa sang suami telah pulang namun memilih untuk melanjutkan pekerjaan di ruang kerja pribadinya.

Kirana mendorong gagang pintu perlahan, memunculkan kepalanya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk berjalan sambil sedikit berjinjit agar tidak mengganggu sang suami yang tampak kelelahan.

Di tangannya terdapat dokumen yang cukup tebal. Kacamata baca tampaknya sudah hampir jatuh. Sang suami juga tertidur dengan posisi yang membuat Kirana yakin bahwa besok ia akan mendengar keluhan pegal-pegal dari sang pria.

"Mas...," Kirana menyentuh pundak itu seringan mungkin. Suaranya mengudara lembut, seolah merasa bersalah telah mengganggu waktu istirahat yang berharga.

"Mas, pindah ke kamar, yuk." Sang istri berbicara ketika sepasang mata hitam legam telah menatap ke arahnya.

Sang suami merespon perkataan itu dengan berdiri lalu meletakkan dokumen pada meja kerjanya, kemudian berjalan keluar ruangan

Kirana menatap punggung itu, lalu menghela nafas panjang. Ia lantas menyusun dokumen yang tampak berantakan di atas meja, mematikan lampu lalu menyusul sang suami.

Percikan air terdengar ketika Kirana melirik pintu kamar mandi. Ia kembali melirik jam. 02.45.

Jam berapa suaminya pulang?

Ia tak tahu. Ia juga belum memiliki nyali untuk bertanya. Hari masih terlalu dini untuk mendengar balasan ketus. Atau diabaikan seperti raga tak berjiwa.

Kirana memutuskan beranjak ke dapur, melirik tanpa minat pada makanan yang masih utuh di meja. Ia meraih piring berisi ayam bakar madu, sambal dan tumis sayur untuk dimasukkan ke kulkas.

Ia lalu mengambil gelas dari lemari dan mengisinya dengan kantong teh celup, geprekan jahe, serta satu sendok teh madu.

Gelas itu masih tampak mengepul ketika tatapannya bertemu dengan sang suami dari arah tangga.

"Ini tehnya, Mas. Hati-hati, ya. Masih panas," Kirana berujar perlahan, menahan seluruh rasa ingin mengetahui alasan mengapa sang suami tidak bisa menepati janji sesederhana makan malam bersama.

Gumaman tidak jelas terdengar ketika Wisnu menyesap teh.

Surai hitamnya tampak masih lembab. Mungkin terkena percikan air ketika mencuci muka. Ia mengenakan kaos putih polos dan celana hitam pendek. Wisnu tampak menawan, terlihat matang dan tenang.

"Mas udah makan kan?" Kirana tampak berhati-hati dengan pertanyaannya, berharap ia bisa mendapat bocoran alasan, atau, jika Dewi fortuna sedang ada di pihaknya, akan ada raut bersalah pada wajah tampan itu.

"Hmm. Aku tidur duluan. Jangan lupa kunci pintu."

Wisnu menjawab datar, kemudian melangkah ke kamar sambil membawa teh, meninggalkan Kirana yang lagi-lagi hanya bisa menelan kecewa sendiri.

Entah sampai kapan ia harus begini.

tolerate itTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang