Kirana bukannya tidak berusaha. Ia hanya sedang lelah saja
Sudah dua tahun ia menjalani pernikahan ini. Rasanya seperti terkurung dalam sangkar emas.
Dari luar, kehidupannya tampak mewah, bahagia, dan sejahtera. Tak ada yang tahu bahwa sebenarnya ia ingin kehidupan yang sederhana saja, asal ia tak jadi istri yang merana.
Wisnu Arditama, lelaki pujaannya sejak SMA memang telah berhasil ia miliki. Namun, rasanya ia menyesali keputusannya untuk menikah secepat usianya yang masih menginjak dua puluh empat
Setiap pagi, Wisnu akan bangun jam 06.00. setelah menyengarkan diri, ia lalu akan berlari di atas treadmill. Kemudian mandi ketika matahari sudah agak tinggi
Sarapan sudah harus tersedia di atas meja dan Kirana sudah harus rapi menunggu sang suami untuk sarapan bersama.
Pagi hari biasanya Wisnu makan makanan yang sederhana. Kadang semangkuk buah potong, sepotong roti isi, atau seporsi cereal. Yang tak bisa ia lewatkan, hanyalah kopi hitam tanpa gula.
Kirana sudah sangat menguasai racikan kopi yang sesuai dengan selera sang suami.
Wisnu kemudian akan duduk tenang, makan sambil membuka tablet berisi jadwal hariannya. Sesekali, alisnya akan berkerut. Kirana selalu berasumsi, bahwa sang suami menemukan suatu yang mengganjal pada otak cerdasnya ketika hal itu terjadi.
Wisnu berangkat kerja di antara pukul 07.30-07.45. Tergantung pada jadwal pertamanya di hari itu, terkadang sang asisten datang menjemput, terkadang pula ia membawa mobil sendiri.
Jika sang asisten sudah menjemput, maka berarti sang suami akan pulang lebih larut sebab kemungkinan ada jadwal di luar kota.
"Hati-hati mas. Hari ini aku ga bawain bekal dulu ya?" Kirana menyalami sang suami di depan pintu.
"Hm. Gapapa," Wisnu telah duduk di balik kemudi, memasang sabuk pengaman lalu membunyikan klakson sebelum mobil bergerak meninggalkan pekarangan rumah.
Kirana menatap plat mobil suami dengan pandangan kosong. Bertanya-tanya, kapan terakhir kali ia merasa bahagia dalam pernikahan ini?
