Ch12 : Their Story

4 0 0
                                    

Perjalanan pulang mereka tidak selancar yang diharapkan. Mendung yang tiba-tiba menyelimuti beberapa tempat dan hujan cukup deras yang juga mendadak jatuh membuat keduanya terpaksa berteduh di depan toko yang sudah tutup. Menurut jam tangan kecil di pergelangan tangan Prajna, waktu sudah menunjukan pukul setengah 5 sore.

Prajna yang tahu lokasi mereka berada sekarang sudah tidak jauh dari rumah sebenarnya ingin kembali melanjutkan perjalanan. Tinggal melewati satu pertigaan dan satu desa lagi. Namun, dia tidak ingin membuat Djanu basah kuyup dan flu nantinya.
Jadi memutuskan untuk menunggu sebentar lagi, setidaknya sampai hujan sedikit reda. Walau dalam hati dia benar-benar mulai cemas dengan respon ibu dan mbah putrinya saat dia pulang nanti.

Djanu tetap duduk di jok motor, sedang Prajna memilih berdiri di tepian teras toko dan bermain-main dengan air yang menetes. Keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing.

"Gani suka hujan, " ucap Prajna tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya dari telapak tangannya sendiri yang sedang menengadah sebagai penampungan air. "Dulu waktu kami kecil kami sering hujan-hujanan berdua atau sama temen-temen yang lain. Main-main di selokan air deket sawah. Atau perosotan pakai pelepah kelapa yang sudah tua."

"Sekarang semua orang sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang melanjutkan pendidikan kayak Gani, ada juga yang langsung menikah tidak lama setelah lulus sekolah. Gani mah enak, punya kesempatan  lanjut ke luar kota. Padahal dulu dia ga suka banget sama Bahasa Inggris. "

Terdengar tawa renyah Prajna di antara rintikan hujan yang mulai semakin jarang. Membuat Djanu semakin yakin tentang dugaanya selama ini. Sepertinya ada sesuatu yang dua sahabat itu coba sembunyikan.

"Apalagi hal-hal tentang Bang Gani yang kamu tahu?" tanya Djanu memancing. Ingin lebih tahu seberapa dekat bapaknya dengan perempuan dari masa lalunya ini.

"Hmmm ... banyak. Dia paling ga suka makan sayur dari dulu. Apalagi kacang-kacangan. Bikin Bu Retno greget karena harus lebih maksa biar ga pilih-pilih makanan. Aku sering banget denger Bu Retno teriak-teriak masalah sayur doang. Hahaha. Gani pinter main gitar dari kami SD dulu. Mainnya jago, nyanyinya yang nggak. Fales banget gila. Dia suka main bola. Suka kumpul sama temen-temen timnya. Suka segala hal yang terbuat dari tahu. Suka minuman yang ada susunya. Banyak sekali. "

"Wow... kayaknya udah ngalahin keluarga Bang Gani sendiri pengetahuannya. Cukup dekat ternyata. "

"Kalau bandingannya sama keluarga ya nggak lah. Walau mereka terlalu sibuk di luar dan dari kecil Gani sering dititipin ke rumahku, mereka tetep orang tua panutan yang kenal anaknya luar dalam. Tapi yah, sebenernya Gani juga bukan tipe yang suka nyembunyiin banyak hal sih. Jadi mudah kebaca."

Djanu mendengkus pelan. Tidak setuju dengan pernyataan terakhir yang Prajna ucapkan. Karena kenyataanya, eyang putri, eyang kakung dan Prajna sendiri berhasil dikelabui oleh Gani selama ini. Gani berhasil menyimpan rahasianya dari siapapun.

"Hal yang paling tak inget adalah kesukaannya sama hujan. Hampir setiap hujan dia pasti keluar. Kalaupun sedang dalam keadaan yang tidak memungkinkan dia bakal duduk di pinggir jendelan ngelihatin hujan sampai selesai. Sesuka itu. "

"Kalau kamu sendiri, suka hujan nggak? "

"Suka lah! Sebelas dua belas sama Gani, aku juga maniak hujan-hujanan. "

"Kalo suka hujan kok sekarang neduh? " tanya Gani asal. Cukup kesal dengan cerita lovey-dovey dua manusia tidak saling peka seperti ini. Padahal dalam kepala dia mengutuk dirinya sendiri yang menyimpan sedikit harapan agar keduanya peka. Bagaimana mungkin dia ingin mengubah apa yang terjadi di masa lalu? Apa Djanu tidak berpikir itu bisa berdampak di masa depan tempatnya berada?

Prajna yang mendengar pertanyaan Djanu mengernyit heran. Dia menoleh cepat ke arah pemuda yang masih duduk di atas jok motor itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Beberapa detik kemudian, tiba-tiba senyumnya mengembang lebar. Membuat kernyitan itu kini berpindah pada Djanu.

"Lah bener juga. Ngapain takut hujan. Terjang aja yok, kan seru! "

Prajna bahkan tidak menyelesaikan kalimatnya dengan benar dan langsung berlari ke jalanan. Membuat Djanu melotot lebar dan kalang kabut berusaha menghidupkan motornya untuk mengejar gadis aneh yang justru sedang asyik berdiri di bawah hujan itu.

"WOI! Mbak-mbak freak! Nggak langsung hujan-hujanan juga kali. Percuma neduh dari tadi elah! "

Gerutuan Djanu justru ditanggapi tawa lebar oleh Prajna. Gadis berkepang itu jelas benar-benar menikmati saat air hujan yang sudah tidak sederas sebelumnya itu membasahi kemejanya yang tipis. Dia semakin tergelak saat melihat Djanu yang akhirnya harus hujan-hujanan juga demi menyusulnya.

Saat motor itu berhenti di sebelahnya dan memberi isyarat untuk naik, Lagi-lagi Prajna tertawa lebar. Djanu yakin ini tawa terbanyan yang pernah dia dengar sejak mengenal gadis di belakangnya ini. Membuat sesuatu di dasar perutnya bergolak tidak nyaman.

Keduanya melanjutkan perjalanan di tengah guyuran hujan yang makin lama semakin reda. Sesekali Prajna akan menepuk punggung Djanu saat anak itu lupa jika harus berbelok atau masuk ke gang-gang. Mereka menikmati sisa perjalanan tanpa mengeluarkan banyak kata lagi. Sibuk menikmati tetesan air dan dingin yang mulai menusuk sampai ke tulang mereka.

Setengah jam kemudian keduanya sampai ke halaman rumah Prajna. Djanu menghentikan motornya tepat di teras yang berada di sisi sebelah kiri rumah. Saat dia melepas helm dan menoleh ke arah Prajna, pemuda itu mengernyit saat melihat Prajna justru hanya berdiri kaku di tempatnya. Tidak segera melepas helm atau masuk ke rumah untuk membersihkan diri.

Karena penasaran, Djanu mengikuti arah pandang gadis di sebelahnya dan ikut terkejut saat mendapati dua anggota keluarga perempuan berdiri di ambang pintu dengan tatapan tidak bersahabat. Bisa Djanu lihat ada emosi yang siap meledak kapan saja.

"Dari mana kamu pergi nggak bilang-bilang?" tanya Arum keras.

"Kita ngomong di dalem, Buk,"jawab Prajna sambil melirik tidak nyaman ke arah Djanu.

Namun, sepertinya kemarahan sang ibu sudah berada di puncaknya sampai-sampai mereka tidak peduli sedang ada di mana dan ada siapa di sana.

"Kenapa harus di dalam? Di sini juga bisa. Jawab kalau orang nanya itu, Na! "

"Arum, biar Prajna bersih-bersih dulu. Lihat mereka basah kuyup begitu. "

"Bapak mau belain lagi? Sampai kapan, Pak? Selama ini Bapak yang tau apa yang sedang Prajna lakukan dan Bapak diam saja! "

"Kenapa harus Bapak larang? Prajna nggak ngelakuin hal yang salah."

"Salah kalau nggak ijin orang tua! Salah karena nggak nurut sama orang tua. Bapak jangan belain orang yang salah!"

"Ibuk, cukup. Jangan nyalahin Mbah Kung. Ini salah Prajna. "

"Bagus lah kalau kamu sadar ini salah kamu, " kali ini Rahayu yang bicara.

Prajna menoleh ke arah ibu dan mbah putrinya bergantian. Ada emosi yang ingin sekali dia luapkan sekarang. Tapi, dia ingin tahu lebih dulu alasan dibalik kemarahan dua perempuan paling penting dalam hidupnya itu.

"Ibuk sama Mbah udah tau kan kalau Prajna diem-diem daftar kuliah? Prajna tahu itu. Yang Prajna nggak tahu, apa yang bikin kalian bisa semarah ini? Di mana salahnya kalau Prajna pengen ngelanjutin pendidikan dengan uang Prajna sendiri?"

*****

Ada Foto Gebetanku Di Dompet Tua BapakkuWhere stories live. Discover now