12

492 30 0
                                    

Satu tangan menggaruk dagu, tangan yang lain mengetuk-ngetuk meja. Di dalam sebuah restoran penuh tanaman hias dan lampu gantung bulat kuning menjengkelkan, Svaha menunggu Cantra dengan sabar.

Di jendela bagian atas, papan nama restoran tergantung menghadap jalan. Lampu kecil berwarna ungu berbaris di pinggir, membuat tulisannya nampak semakin tebal dan menonjol.

LLAH LIAH. HAIL HALL.

Seekor kucing melenggak-lenggok di atas trotoar. Bulunya candramawa. Ekor menjulur naik seperti ular—menjilat kaki orang-orang yang lewat di sekitarnya. Svaha melihat binatang itu mendongak sambil membuka mulutnya, menduga apa mungkin mahluk itu sedang mengeong atau sedang berusaha bicara dengan bahasa manusia. Suaranya tidak terdengar.

Sementara langit yang tadinya hitam jadi agak kelabu. Awan merapat pendek, seolah akan menelan bangunan-bangunan bertingkat yang berjejalan seperti gigi. Svaha merenggangkan badannya yang jangkung, ia melenguh, mengeluh.

"Apakah sudah siap memesan?" tanya seorang pramu saji sambil mendekat. Tubuhnya jadi semakin pendek karena rambut panjang yang digerai. Pergelangan tangannya ceking, terlalu ceking. Svaha menggeleng. Pramu saji tadi pergi.

Lalu lamunan perempuan itu berlanjut. Yang entah tentang apa. Kosong. Svaha benci kekosongan. Ia benci ketika dirinya sedang tidak memikirkan apa pun. Svaha menyesal tidak membawa buku ke sini. Seharusnya ia bisa baca sepuluh sampai dua puluh halaman sambil menunggu. Svaha menyibukkan diri dengan mengusap layar ponsel berkali-kali. Pada akhirnya ia menyerah dan menaruhnya di depan wajah.

Lalu sebentarnya, pramu saji yang lain datang lagi. Kini seorang lelaki. Perawakannya jangkung, hidungnya agak miring. "Apakah sudah akan pesan?" tanya pramu saji itu.

"Saya sedang menunggu teman. Nanti kami akan pesan." Svaha menjawab, nadanya mulai ketus.

Svaha mengalihkan pandangan pada gerimis yang baru saja turun. Garis-garis air mencoret kaca jendela.

"Mungkin minumnya dulu?" Agak memaksa, pramu saji tersebut menaruh buku menu di atas meja. Menggeser ponsel Svaha.

Svaha terpatik emosinya. Ia berdiri. "Sudah kubilang, aku akan memesan ketika temanku datang!" Ia bahkan tidak sadar sudah membentak lawan bicaranya. Pramu saji itu langsung menunduk.

Hail Hall tiba-tiba berubah jadi Hell Hall. Suara sibuk dari ruang dapur terhenti, suara garpu dan sendok logam dari pengunjung yang sedang makan seolah berubah jadi karet. Perlahan tapi pasti, keadaan sunyi mulai terisi. Svaha mendengar suara langkah mendekatinya.

"Svaha?" Perempuan itu memanggil namanya.

Svaha menoleh pada kekasihnya. Cantra mengenakan sehelai terusan di atas lutut berwarna pastel, berlengan panjang dengan potongan kerah terbuka yang memperlihatkan belahan dadanya—tidak terlihat aneh dengan sepatu kets putihnya. Rambutnya yang bergelombang diurai tanpa penataan khusus, baunya harum. Berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk menyajikan penampilan seperti itu? Svaha merasa malu, ia membuang muka kemudian duduk kembali.

"Ada apa ini?" Cantra tidak bertanya pada Svaha lagi. Ia bertanya pada pramu saji itu.

"Saya hanya menawarkan menu dan Nona ini marah," tutur pramu saji takut-takut.

Cantra menoleh pada Svaha. Kekasihnya yang biasanya pemalu itu bisa merasakan tatapan mata si perempuan mengelus bahunya. Meski begitu Svaha belum bilang apa-apa.

"Oh, ya tentu. Kami akan memesan. Beri kami sedikit waktu lagi." Cantra membuka tasnya.

Svaha mendengar suara uang kertas yang berpindah, kini terselip di dalam kantong kemeja pramu saji. Masalah selesai. Pramu saji tersebut kemudian menunduk dan menjauh dari pasangan itu.

1. Friends With, Love GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang