***
"Sayang, ini kodok buat kamu."
"Jisoo, kamu cantik banget pegang kodok itu."
"Terimakasih, sayang."
"Jisoo."
"Baskara."
"Jisoo.."
"Baskara..."
"Baskara!"
"BASKARA!!"
Sontak netra terpejam itu terbuka, denyut jantung berdegup kencang dengan pandangan linglung khas bangun tidur. Ia sadar akan sosok berkacak pinggang di samping ranjangnya, "hehe, Bunda."
"Dari tadi Bunda bangunin malah nyebut 'Jisoo! Jisoo!' makanya jangan kebanyakan halu kamu! Susah kan Bunda bangunin."
Ia menunduk takut, Bundanya benar benar seram jika sudah mengoceh, ia jamin jika ini hari minggu maka ia akan mendapatkan siraman qolbu sampai sore nanti!
"Tunggu apalagi? Sana mandi!"
"Iya Buun!"
Kelimpungan ia berlari menuju kamar mandi, entah harus mengucap syukur atau bagaimana ia harus sekolah sekarang dan terhindar dari omelan gemas sang Bunda.
"Kkothyanggiman namgigo gatdanda."
"Tetew terereret tetetew tetetew terereret tetetew."
Walau dengan gerakan bagai ulat bulu, ia berjoget di bawah guyuran shower mengikuti gerakan dance sang pujaan hati, lagu Flower dari Kim Jisoo. Tentu dengan suara yang mampu memekik gendang telinga, beruntung kamar mandi dibuat kedap suara, karena Bundanya tau bakat terpendam miliknya yang memang seharusnya dipendam itu tak perlu didengar siapapun.
Menghabiskan lima menit untuk mandi dan menuntaskan rutinitas pagi seperti lelaki puber biasanya, ia keluar dari kamar mandi dengan harum sabun batang citra bengkoang, tolong jangan beritahu siapapun! Ia terpaksa memakai stok sang bunda karena miliknya habis, walau itu sudah terjadi selama empat bulan.
"Demi apa gue ganteng banget!"
Ya, Selasa pagi itu ia habiskan tak seperti hari hari biasanya, yang selalu ia jalani dengan terburu buru. Mungkin karena sang Bunda yang membantunya untuk bangun, dengan perasaan kaget tadi cukup membuatnya dongkol. Namun jika bisa membuatnya melakukan pagi dengan santai seperti ini semuanya terbayar tuntas, kekesalannya pun melebur entah kemana, mungkin menghilang bersama sabun batang yang jatuh ke toilet duduk tadi.
"Baskara makan!"
"Iya Bun!" Sahutnya ikut berteriak,
Dengan dasi yang belum terpasang rapih dan tas ransel yang digendong setengah ia turun melalui tangga. Senyumnya merekah saat tiba di hadapan sang Bunda. Bunda hanya menghela nafas sabar melihat penampilan acak acakan putranya ini, mirip sekali saat suaminya muda dulu. Tanpa banyak bicara wanita paruh baya itu merapihkan dasi putranya, menata surai hitam agar terlihat enak dipandang, dan membenarkan kerah untuk penyempurnaan.
Hangat, Baskara rasakan tiap kali diperlakukan seperti itu oleh Bundanya. Ia merasa dipedulikan dan disayangi, tentu saja ia mampu melakukan semuanya sendiri, namun ia sengaja agar Bundanya yang terus melakukannya. Tersenyum tanpa dosa ia berikan, matanya menyipit seolah ikut tersenyum, 'manisnya.' selalu begitu batin sang Bunda.
"Ayah sudah berangkat satu jam yang lalu, kita makan berdua ya?" Baskara mengangguk, toh ia jarang sekali bertegur sapa dengan sang Ayah setiap harinya.
Baskara menyantap nasi liwet sederhana itu dengan lahap, Bundanya tahu sekali favoritnya. Dengan di sandingkan telur dadar dan tempe orek jangan berharap Baskara akan menyahut jika dipanggil, perpaduan itu mampu membuatnya melupakan segalanya, kecuali jika kau berdiri dengan foto Jisoo dan jari yang siap menghapus foto itu permanen dari galeri. Ia akan berlari ke arahmu dan memberimu pukulan mautnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada Arunika
Teen FictionKepada Arunika Baskara berkata, "tolong bantu menyinari Bumantara."