Semiotika

120 0 0
                                    

Kepada mereka dikabarkan fajar melalui lisannya yang bijak. Santun pula sentuhannya pada tubuh bumi---sedari pagi. Namun sapa subuh hari ini tetap saja ramah. Sebab mengiringi langkah-langkah hamba yang bersyukur, mendatangi rumah-Nya perihal dua rakaat wajib. Beberapa di antara mereka datang dengan wajah kebasah-basahan sehabis menyucikan diri dari rumah.

Daun mahoni jatuh seakan pasrah. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, dia berserah: entah diinjak entah dimakan makhluk kecil entah melebur bersama tanah. Dia meyakini kalau apa-apa yang terjadi sudah tertulis di Lauhul Mahfuzh---tak terkecuali dia, sehelai daun Mahoni yang jatuh.

Pilihanku sudah tepat: menjauh. Aku takut tenggelam dalam rasa yang diciptakan sendiri. Kelak 'kan menjadi buta dan lupa bahwa aku hanyalah makhluk tak berdaya di hadapan-Nya. Tetapi, bukankah rasa itu fitrah?

Segala rasa yang menggema dalam rongga benak jadi lebih sempurna apabila cinta hadir dan melekat di antaranya. Hari-hari terasa sulit jika kekasih tak berada di sisi, sebaliknya. Tanpa ada alasan berdasar logika, semua diberi tanpa pertimbangan. Begitulah konspirasi cinta dalam mematikan akal sehat. Semua raib seiring cinta berkembang.

***

Lembaran demi lembaran. Kajian demi kajian. Dilewati berbulan-bulan. Aku sudah memutuskan menyempurnakan hijabku layaknya yang diperintahkan oleh-Nya---semata-mata demi keselamatan dan kehormatan seorang wanita. Aku pahami betul tiap ayat yang berkaitan, sehingga kakiku turut tertutup.

Mungkin, Allah Swt. telah menurunkan hidayah bersama seorang lelaki---kemarin. Pertemuan singkat yang terjadi di depan pintu gerbang bimbingan belajar (Bimbel) mengawali alur yang demikian panjang untuk dinikmati, sebelum aku memutuskan sesuatu dengan pikiran matang.

Pandangannya teduh sekali, meski badannya tegap berisi. Sesekali keluar senandung dari bibirnya, atau berlisan mulia sebagai bentuk pengagungannya terhadap nabi. Kalau bicara, suaranya pelan dengan pandangan yang terjaga. Bagaimana pun, suaranya enak didengar.

Herza, lelaki yang kusebut sebagai jejak yang membasah. Meski ia telah pergi, jejaknya masih tergambar jelas dengan rupa yang basah. Serupa rintik hujan pecah di atas kerikil kecil, lalu lenyap entah kemana. Membikin bekas dan setelah itu tinggal ingatan yang masih mengisi ruang kosong ketika hujan---kenangan.

Kaca Yang BerdebuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang