Semiotika #2

79 0 0
                                    

Pertemuan itu terjadi ketika aku masih mengikuti Bimbel untuk persiapan tes masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Herza di kelas IPS 1, sedangkan aku di kelas IPS 2. Aku belum pernah berkenalan dengan Herza. Hanya sekadar tahu orang dan namanya dari teman sekelas, sebab Herza dikenal sebagai seorang yang santun dan ramah.

Di beberapa kesempatan, aku pernah bertemu dengan Herza. Paling sering di ruang diskusi. Aku mendapatinya sedang asyik bersama pena dan setumpuk buku pelajaran, atau kadang-kadang berdiskusi rumit bersama pengajar. Herza sangat serius untuk masuk PTN, sebab ini adalah kesempatan keduanya setelah tahun lalu gagal diterima di universitas favorit. Walau pun begitu, tak pernah ada sepatah kata pun mengawali pembicaraan antara kami berdua. Meski duduk semeja ketika diskusi bersama pengajar.

Herza memiliki senyum yang khas, kupikir. Ketika sudut bibirnya melengkung naik, lesung pipinya tampak tertarik ke dalam dengan kuat. Tahi lalat yang berada di dekat bibirnya turut menyumbangkan warna senyumnya. Semacam harmonisasi.

Berbeda denganku yang tak punya nyali untuk bercakap-cakap dengan Herza, Dina, teman sekelasku, agaknya lebih berani mengajak Herza ngobrol dengan memberi berbagai pertanyaan. Aku hanya bisa menikmati jawaban-jawaban yang diberikannya.

"Za, hari ini diskusi apa?" tanya Dina kepada Herza. Tampaknya Dina punya maksud tersembunyi di balik tanyanya.

"Geografi," jawab Herza singkat.

"Wah, boleh juga. Putri bagaimana? Kita bareng saja ya? Ilmi juga setuju kok." Pertanyaan Dina terdengar retoris, tidak memerlukan jawaban, sebab aku membaca maksudnya. Lelaki yang berada di samping Herza adalah seorang yang dikagumi Ilmi. Kesimpulannya, Dina sangat terobsesi untuk mendekatkan Ilmi dengan sahabat Herza, yaitu Fiqri.

Selepas diskusi, Dina membisikan sesuatu kepadaku. Didekatkan mulutnya ke telinga kananku. Kudengar ucapannya dengan cermat, namun kata-kata yang dilontarkannya membuat aku berpikir jauh---sampai memiliki harapan yang terlalu mengada-ada.

"Put, ada yang lebih cocok ketimbang Ilmi dan Fiqri," ucap Dina sembari tersenyum tipis. Gelagatnya meyakinkan, seperti paranormal yang dapat membaca perihal gaib. Dia menungguku. Rasa penasaran yang hebat akhirnya tergambar jelas di wajahku. Aku menduga-duga. Siapakah yang dimaksud Dina, seorang selain Fiqri? Mungkin Faisal dari kelas IPC 1. Belakangan, kerap terlihat semeja diskusi dengan Ilmi.

"Siapa?" Aku tak kuasa menahan tanya. Dina berhasil. Dina memang pintar memancing penasaran dengan menggantung pertanyaan demikian.

"Kau dan Herza," bisiknya lagi. Aku mengernyitkan dahi dan menatap Dina dengan tatapan aneh. Dina nyengir.

"Yakinlah dengan perkiraanku ini, Put. Kulihat kalian berdua memiliki kecocokan," sambungnya.

"Ah, pikiranmu kacau, Din!" Aku menampik pendapat Dina. Dina tertawa geli.
***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kaca Yang BerdebuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang