01 - BUKAN PERTEMUAN TERAKHIR

40 5 6
                                    

~ HAPPY READING ~

•°•°•°•

Semburat pagi mulai memancarkan sinarnya yang menghangatkan muka bumi. Hembusan angin sepoi membelai dedaunan yang meneteskan embun pagi. Burung-burung berkicau dengan riang seolah hari ini adalah musim semi.

Di hari libur kali ini, jalanan Kota Jakarta terlihat begitu ramai. Putaran roda dari berbagai kendaraan menyibak dedaunan kering di jalan.

Di dalam supermarket yang cukup luas, terlihat seorang gadis tengah memasukkan beberapa camilan ringan ke troli belanja. Dia, Amara Shaza Qamira. Gadis manis yang kerap dipanggil 'Shaza'.

Setelah memeriksa kelengkapan barang yang dibutuhkan, Shaza segera berjalan menuju kasir. Namun, di tengah perjalanannya dia berhenti. Seolah ada sesuatu yang aneh, Shaza berpikir sejenak. "Tadi aku ke sini bawa tas selempang. Kok sekarang enggak ada, ya?" Gadis itu mengetuk dagu dengan jari telunjuknya. Menggambarkan ekspresi bahwa dia tengah berpikir keras.

"ASTAGHFIRULLAH, JANGAN-JANGAN TAS AKU KETINGGALAN DI ETALASE JAJANAN?!" Shaza spontan menepuk dahinya. Karena terlalu asyik memilih camilan ringan kesukaannya, dia melupakan tas selempang yang ditaruhnya asal.

Gadis itu berputar balik dan berlari kencang menuju tempat di mana dia memilih camilan ringan tadi. Bisa dibilang, Shaza adalah gadis yang pelupa. Terkadang, karena kecerobohannya membuat sang bunda menjulukinya dengan sebutan 'Gadis Pikun'. Namun, gadis itu pasti selalu membantah dengan ucapan, enggak apa-apa pelupa, asalkan hafalan Al-Quran tetap dijaga.

Terlalu terburu-buru dan khawatir tasnya hilang, Shaza tidak sengaja menabrak seseorang hingga menyebabkan keduanya terjatuh.

"Eh, maaf, ya!"

Shaza dengan cepat meraih tasnya, lalu berjalan tergesa ke arah kasir. Sedangkan seseorang yang Shaza tabrak tadi melihat sesuatu pada lantai. Dia pun meraihnya dan mengernyit ketika mengenali barang tersebut. Namun, sayang. Saat dia akan mengembalikannya, presensi Shaza hilang lebih dulu. Meski kelereng hitamnya menyisir setiap inci supermarket tersebut, presensi sang puan tak kunjung dia temukan.

"Kamu masih menyimpannya ternyata," gumamnya.

•°•°•°•

Di tempat lain, Shaza tengah bersiap untuk melaksanakan salat zuhur. Dia menaruh mukena travelnya terlebih dulu sebelum berjalan ke arah tempat wudu wanita yang memang tertutup.

Shaza membuka peniti yang mengaitkan kain hijabnya. Dia juga menaikkan lengan gamisnya sampai siku. Namun, saat itu Shaza baru menyadari bahwa ada yang kurang darinya.

"Eh, gelangku ke mana, ya?" bingungnya. Dia kemudian mengedarkan pandangan pada sekitar. Takut jika gelang yang dia kenakan terjatuh. Sayangnya, sejauh pandangan Shaza, dia tak menemukan presensi benda berbandul kucing tersebut. "Ya Allah, jangan sampai hilang. Itu satu-satunya kenangan dari Abizhar."

Shaza takut, gelang buatan sahabat masa kecilnya itu raib. Karena hanya itulah yang dia miliki saat ini. Benda yang menyimpan banyak sekali kenangan indah masa kecilnya.

"Aku pergi sebentar kok, Za. Ini buat kamu. Semalam aku buat sendiri pakai tanganku, biar spesial."

Mengingat kalimat bernada penuh semangat khas anak-anak tersebut--juga bayangan saat tangan kecil Abizhar memakaikan gelang buatannya pada tangan Shaza, membuat Shaza bersedih. Bagaimana jika sahabatnya itu tahu, bahwa benda yang menjadi satu-satunya kenangan, menghilang.

Shaza merutuki dirinya sendiri yang ceroboh.

"Ya Allah, semoga gelang itu ditemukan sama orang baik yang mau ngembaliin gelangnya. Semoga gelang itu masih jadi rezekiku," lirihnya penuh pengharapan pada Sang Pemilik Semesta.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pena Kehidupan [OneShot]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang