“Bunda,” panggil Mia ketika melihat Renata, sang ibu mengernyitkan wajah saat mengubah posisi duduknya.
Renata hanya mengangkat tangan, isyarat kecil yang menandakan agar Mia tidak usah membantunya dan cukup diam di tempat.
“Tidak apa-apa.” Renata tersenyum menenangkan. Perempuan yang mengenakan beannie berwarna ungu lilac itu tidak mau terus-menerus memberikan kekhawatiran bagi putri semata wayangnya.
“Rasanya pasti sakit sekali,” ucap Mia sambil menggenggam tangan Renata.
Renata menggeleng dan membalas genggaman putrinya. Dia menatap satu-satunya hal yang membuat semua pengobatan ini terasa berarti. Mata yang selalu bersinar kala menceritakan seribu mimpinya.
“Mia,” panggil Renata pelan.
“Iya, Bund.” Mia beringsut mendekat.
“Ayah kemana?”
Mia mengendikkan bahu. Dia enggan menjawab pertanyaan ibunya. Seharian gadis itu tidak tahu dimana sang ayah. Padahal mereka sudah janjian untuk saling bergantian menjaga Renata selama dirawat di rumah sakit.
“Kamu kok gitu? Emang Ayah nggak bilang apa-apa?”
“Mia nggak tahu, Bund. Kenapa sih, Bunda malah nanyain Ayah? Udah seharian Ayah nggak keliatan.”
Renata tersenyum alih-alih tertawa melihat wajah cemberut Mia. Dia berusaha menahan sakit saat mencoba tertawa.
“Kata siapa Ayah nggak kelihatan. Waktu kamu tidur siang tadi, Ayah ke sini, kok.”
Mia memutar bola matanya tanda tak percaya. Dia yakin sang bunda hanya berusaha membesarkan hatinya yang sudah kecewa.
Sudah dua bulan sejak Renata dirawat inap di rumah sakit. Hanya dua kali Mia melihat ayahnya mau untuk duduk di samping sang ibu. Itupun tidak pernah lama. Setiap kali Mia masuk ke ruangan, ayahnya akan langsung permisi pergi, tanpa berpamitan padanya. Rasanya sudah cukup lama Mia menatap wajah ayahnya secara langsung.
“Kamu jangan begitu….”
“Bunda kok belain Ayah terus sih?” potong Mia. Gadis itu menyadari bagaimana ibunya selalu berusaha untuk membuat sang ayah terlihat sempurna bagi dirinya.
“Masa?” Renata mengerling sambil tersenyum. Dia tahu Mia pelan-pelan mulai kehilangan kepercayaan pada suaminya.
Gadis berusia lima belas tahun itu mendengkus. Dia menyadari pertanyaan bundanya yang terdengar asal jelas sebagai pengalih pembicaraan. Atau setidaknya begitulah yang remaja itu pikir.
“Ayah nggak pernah ada buat kita, Bund. Ayah udah nggak sayang lagi sama kita.”
“Hush, anak gadis kok ngomongnya gitu sih tentang ayah? Kata siapa Ayah nggak sayang sama kita?”
“Buktinya Ayah udah nggak pernah temenin aku lagi di rumah sakit.” Mia memalingkan wajah. Dia memilih untuk menatap pintu kamar dibanding wajah bundanya.
Renata menghela napas panjang. Dia tidak bisa menyalahkan putrinya jika memiliki perasaan itu. Perempuan itu juga tidak bisa menceritakan alasan ketidakhadiran suaminya.
“Suatu hari kamu pasti bakal mengerti apa yang sebenarnya dirasakan ayahmu,”gumam Renata.
“Apa, Bund?” tanya Mia yang mendengar gumaman Renata.
Renata menggeleng lalu berucap, “Ayah selalu ada buat kita, Nak. Jadi, nanti kamu juga harus ada buat Ayah, ya.”
Mia hanya menatap wajah Renata yang semakin pucat. Dia tidak menjawab tidak apalagi mengiyakannya. Baginya itu hanyalah pesan biasa dari seorang ibu pada anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Lensa
Teen FictionSatu gambar menceritakan sejuta makna. Itulah yang membuat Mia jatuh cinta dengan fotografi. Dia bisa kembali melihat senyum sang ibu yang telah tiada meski hanya lewat selembar foto. Namun, seperti hal lainnya, fotografi sekarang bukan hanya seka...