Langit menggantung dengan awan kelabu, membuat lanskap menjadi pucat seolah-olah sedang berduka atas dunia di bawahnya. Tetesan air hujan jatuh seperti air mata, masing-masing membawa beban kesedihan. Di kota yang sunyi ini, di mana bangunan-bangunannya merosot karena terabaikan dan jalanannya bergema dengan bisikan hantu dari masa lalu yang terlupakan, hiduplah seorang pemuda bernama Adrian.
Kehidupan Adrian adalah permadani yang ditenun dengan benang-benang kesedihan. Menjadi yatim piatu di usia muda, ia tumbuh dalam pelukan dingin panti asuhan setempat, sebuah tempat yang tampaknya menyerap esensi keputusasaan. Anak-anak lain di sana hanyalah bayang-bayang, tawa mereka hanya tinggal kenangan, digantikan oleh gema kesedihan yang hampa.
Adrian, sebuah nama yang terukir di koridor-koridor panti asuhan yang dingin, adalah seorang anak laki-laki yang ditandai oleh bayang-bayang kehilangan. Pada usia dua belas tahun, ia telah melewati badai pengabaian, orangtuanya hanya menjadi gema di ruang-ruang sunyi dalam ingatannya. Panti asuhan menjadi rumahnya yang enggan, tempat di mana tawa anak-anak lain bergema di dinding seperti kenangan yang jauh.
Dunianya adalah sebuah palet yang tidak bersuara, setiap hari menyatu dengan rutinitas yang sama: makan bersama, tugas-tugas bersama, dan rasa kesepian yang selalu ada. Mata Adrian, yang dulunya cerah dengan janji masa kanak-kanak, sekarang menyimpan kesedihan yang tenang yang berbicara tentang tahun-tahun di luar usianya yang masih muda.
Anak-anak lain, tersesat dalam dunia kerinduan mereka sendiri, membentuk hubungan yang singkat, tetapi Adrian tetap menjadi sosok yang menyendiri. Rasa kesepiannya sangat terasa, kabut tebal yang melekat pada dirinya seperti kulit kedua. Dia berkeliaran di lorong-lorong seperti hantu, langkah kakinya tidak terdengar di tengah tawa orang-orang yang menemukan penghiburan dalam persahabatan sesaat.
Seiring berjalannya waktu, rasa sakit hati Adrian semakin dalam. Surat-surat yang ia tulis untuk orang tuanya yang tidak ada adalah bisikan putus asa yang dilepaskan ke dalam kehampaan, gema cinta yang tidak terjawab yang tidak dapat ia ingat. Satu-satunya penghiburan datang dari loteng, di mana ia menemukan koleksi buku-buku yang sudah berdebu dan terlupakan. Di antara halaman-halaman yang menguning, dia menemukan tempat berlindung di dunia di mana beban realita yang dialaminya dapat disingkirkan untuk sementara waktu.
Pada usia lima belas tahun, pandangan Adrian mulai tertuju pada cakrawala kemungkinan di luar batas panti asuhan. Dunia di luar sana tampak luas dan belum dijelajahi, namun rantai keadaan menahannya. Mimpi-mimpinya, yang rapuh seperti kaca, hancur karena kenyataan pahit keberadaannya. Anak-anak yatim piatu lainnya tumbuh, menjalin ikatan, dan pergi untuk memulai hidup baru, meninggalkan Adrian dalam gema kepergian mereka yang memudar.
Saat ia memasuki tahun-tahun penuh gejolak di masa remaja, kesendirian Adrian mengeras menjadi cangkang. Matanya yang dulu penuh harapan menjadi cermin yang memantulkan rasa sakit yang ingin disembunyikannya. Para staf di panti asuhan, yang terlalu kewalahan dengan masuknya kehidupan sementara yang terus menerus, gagal menyadari erosi diam-diam pada jiwanya.
Pada usia tujuh belas tahun, Adrian berdiri di ambang kedewasaan, hanya tinggal bisikan dari anak laki-laki yang dulu. Dunia di luar sana memberi isyarat, tetapi bekas luka masa lalunya mengikatnya seperti rantai yang tak terlihat. Loteng yang dulunya merupakan tempat perlindungan, kini menjadi makam bagi mimpi-mimpi yang tidak berani ia kejar.
Suatu malam, saat matahari terbenam di bawah cakrawala, memberikan bayangan panjang ke seluruh panti asuhan, Adrian duduk di dekat jendela, menelusuri bekas luka di hatinya dengan jari-jari yang gemetar. Beban kesendiriannya menekannya seperti beban yang tak kenal ampun, dan air mata, yang tak tertumpah selama bertahun-tahun, akhirnya tumpah ke pipinya.
Pada saat yang rentan itu, seorang pengurus panti yang lewat melihat anak laki-laki yang telah menjadi hantu di dalam tembok panti asuhan. Kesadaran itu menyadarkan Adrian, yang diliputi oleh kegelapan keputusasaannya sendiri, membuat sebuah pilihan yang bergema di sepanjang koridor yang sunyi, "Saya akan meninggalkan tempat ini, dengan cara apa pun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Echoes of Solitude
FantasyDunianya adalah sebuah palet yang tidak bersuara, setiap hari menyatu dengan rutinitas yang sama: makan bersama, tugas-tugas bersama, dan rasa kesepian yang selalu ada. - 21 september 1921