Pilot.

23 2 1
                                    



XX. CENTURY
France, La Bresse.⁣

Sepasang mata bulat tertegun menatap rintik hujan yang menerpa kaca jendela di hadapannya, bintik bintik air bergerak ke bawah karna gravitasi. Sesekali ia kembali memfokuskan diri pada buku bacaannya, namun kilat bagai lampu disko yang berkelip membuat anak lelaki berusia 6 Tahun itu terlompat kaget, kemudian kembali menyaksikan hal yang menarik namun menegangkan baginya.⁣


Pluviophile
(n.) A lover of rain; someone who finds joy and peace of mind during rainy days⁣

"Mathilda, kau yakin dengan keputusanmu?" Udara dingin menggelitik leher mulusnya yang terekspos, diusapnya perlahan lalu berdehem, "lya, kau tahu? Divonis tidak dapat memiliki keturnan adalah kutukan untukku. Aku sangat mendambakan kehadiran seorang anak, anak laki-laki," matanya seperti berkaca-kaca, berusaha membuat bendungan agar air matanya tidak jatuh.

Pria berbadan tegap nan atletis itu menggenggam kedua tangan istrinya, menekan punggung tangannya dengan sangat pelan, "Korea? Mengapa harus disana?" Sang suami menatap dalam istri yang sangat dicinta, terlihat jelas raut kesedihan pada wajah wanita muda itu.

"Aku ingin anak kita bermata sipit sepertimu, Jeffrey, aku ingin ia memiliki darah yang sama denganmu," Sang istri bernama Mathilda itu menarik kedua ujung bibir, sebuah senyuman yang hampir punah, begitu Jeffrey rindukan semenjak Mathilda divonis dokter untuk segera melakukan operasi pengangkatan rahim satu tahun silam.

Jeffrey membalas senyumannya, kemudian mengecup singkat bibir kenyal bagai candu itu.⁣

𓆩══════════ 𓉳 ══════════𓆪    ⁣

"Mathilda, mau pergi ke pusat kota bersamaku?" Jeffrey membenarkan posisi kaca matanya, sembari menoleh pada istrinya yang tengah sibuk menata rapi vas-vas bunga di atas rak. Seisi ruangan dipenuhi semerbak dari bunga warna-warni, tulip, mawar, sampai Iris yang identik dengan warna ungunya.

Si pemilik nama mengalihkan pandangan sebentar, lalu melanjutkan kesibukannya, "Pusat kota? Apa yang akan kita lakukan disana?" Tanya Mathilda dengan tatapan antusias. "Kita bisa berjalan-jalan disekitaran balai kota. Pergi ke restoran kalau kau mau? Musim semi sangat sayang untuk dilewatkan, sweetheart,"

Istrinya menyunggingkan senyum manis, begitu manis bahkan setoples madu pun tak sanggup mengalahkannya, begitu pikir Jeffrey.

"Baiklah, aku akan berganti pakaian, jangan tinggalkan aku, Jaehyun!" Mathilda berlari kecil meninggalkan toko bunga miliknya, Jaehyun —nama lain Jeffrey— menatap gemas punggung wanita berusia 21 tahun itu, kemudian ia terkekeh pelan.

Semua akan Jeffrey lakukan demi membuat kekasih hatinya itu tak bersedih lagi, walau mungkin rasanya mustahil untuk membuat Mathilda kembali sebahagia dulu, sebelum rahimnya diangkat akibat suatu penyakit. Jelas Mathilda begitu terpukul mendengar vonis dokter, bahkan dirinya sempat berusaha mengakhiri hidup dengan meminum pill dosis tinggi, untungnya Jaehyun menyadari hal itu, sampai sekarang dirinya begitu mendekap Mathilda ke dalam pelukannya, merawatnya sepenuh hati, bahkan dapat ia pastikan pecahan gelas kacapun tak dapat menggores kulit pucatnya.⁣

"Sayang, kita tidak bisa begitu saja membawa bayi ini ke-,"
"Jeffrey Jeong.. Kumohon," suaranya berubah parau. Jeffrey berulang kali memastikan isi surat yang ia ambil.⁣


Entah siapa yang tega melakukannya, Jeffrey dan Mathilda baru saja menemukan keranjang bayi berwarna biru di sebuah gang sempit dan kotor, mereka tidak akan sadar benda itu ada di sana jika bayi di dalamnya tidak menangis.

Sifat keibuan Mathilda spontan menggebu, ia berlari kedalam gang kecil di antara himpitan dua gedung pusat kota, jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk para manusia. Matanya membelalak kaget, segera ia angkat daging bernyawa itu kedalam gendongannya, si bayi terbungkus kain woll yang begitu tebal, cukup untuk membuatnya tetap hangat dari dinginnya cuaca di musim gugur.

"Jeffrey! Bayi! Ini bayi!" Dirinya berteriak heboh, bersamaan dengan suara tangis bayi yang terdengar menyakitkan.

Pria berambut brunette itu mendekati istrinya, melihat sekilas wajah putih pucat sang bayi dengan kedua pipi yang memerah. la dengan cepat mengobrak abrik isi keranjang bayi, ditemukannya secarik kertas lecek dengan sedikit percikan berwarna merah di bagian atasnya, Jaehyun mengerutkan kening bingung.⁣

Siapapun yang menemukan ini, kumohon rawatlah bayi lucuku dengan sepenuh hati, karna aku yakin aku bukanlah ibu yang baik untuknya.
N, L—⁣


Jeffrey menggertakkan giginya, seketika dadanya terasa sesak, dia sadar saat ini dirinya sedang marah. Disaat ia dan istrinya mendambakan kehadiran buah hati, seseorang yang jahat rela membuang bayi polos ini begitu saja, itu membuat hatinya sakit. Sakit sekali.
Udara terasa lebih dingin dari sebelumnya, Mathilda tak henti-hentinya membujuk Jeffrey untuk membawa bayinya pulang, rasanya tak tega jika harus meninggalkan makhluk kecil itu sendirian ditempat yang tak layak.⁣

Bien-aimè, by Grace༉‧₊˚
To be Continued..

Bien-aimè.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang