IMG_0001_ChaoticFriday.jpg

2.6K 248 40
                                    

"Mas, gue udah sampai di simpangan jalan. Ini gue parkir motor di rumah warga apa gimana?"

Mary membuka helm, lantas membenahi bobby pin yang tersemat di kepala. Biasanya, kereta adalah sobat, tapi daerah tempat tawuran hendak berlangsung cukup jauh dari stasiun dan si gadis tak yakin ada ojek online yang mau mengantarkan dirinya ke pusat keributan.

"Lu bawa motor, Mar?"

"Lu yang nyuruh gue cepetan, Mas Hiro." Mary berdecak, gemas. Ribut seruan dan bunyi senjata entah apa yang beradu muncul di latar suara redakturnya. "Gue langsung ke situ aja?"

"Iya dah. Buruan, Mary. Mumpung belum ke-gap aparat ini, masih asik ributnya!"

Mata sebentuk almond milik Mary berputar mendengarnya. "Anjir lu, Mas." Tak habis pikir ia dengan jalan pikir redakturnya yang satu itu. Gadis berperawakan mungil itu mencari rumah warga yang sekiranya cukup welcome untuk ia titipi motor scooter-nya. Dari jarak segitu saja, ia sudah bisa menangkap kumpulan siswa berseragam yang bertarung seakan-akan berada di medan perang. Mary tak paham lagi dengan motivasi liputan kali ini.

Oke, Mary. Datang, foto, lupakan.

Setelah motornya aman, Mary mengalungkan kamera dan memasang lensa andalan si gadis dengan wajah berbintik itu. Ia mencari keberadaan muka-muka yang ia kenali, lantas menemukan Hiro yang melambaikan tangan. Kaki pendek Mary melangkah mendekati biang kerok keberadaannya di tempat ini.

"Tuh, Mar. Udah agak lama sih tawurannya, gue ada rekam juga di hape." Pria yang tingginya kurang-lebih sejengkal di atas Mary itu nyengir lebar. "Seneng kan lu lihat keributan?"

"Anak jurnalis yang lain nggak ada yang bisa diajak, gitu?" Mary menggerutu seraya mengatur lensa untuk membidik. "Kenapa harus gue banget, sih, Mas?"

"Spesialisasi lu memantau keributan, Mar."

"Gusti nu agung. Kurang ajar." Si gadis berdecak. Ia mengambil beberapa gambar, mengabadikan momen lempar-lemparan batu dan aneka senjata dari berbagai sisi. Kata-kata Hiro tidak sepenuhnya salah; dirinya memang menikmati momen-momen di tengah keributan—walaupun untuk kali ini banyak dongkolnya. Blame him for that.

Tawuran semakin ganas. Intensitas lemparan batu sudah macam saling rajam dan suasana semakin kacau. Entah aparat lelah, kurang sigap, terjebak macet, atau apalah alasan yang nanti muncul di berita, yang jelas tak ada tanda-tanda pertarungan ini akan dilerai dalam waktu dekat. Mary baru saja hendak mundur, mencari jarak aman, ketika sebutir batu mendarat di jidat dan mengenai lensa.

"Anjir!" Mary refleks mengumpat. Ia buru-buru menjauh sebelum ada batu lain yang mendarat di tubuh mungilnya. Dahinya terasa perih. Yah, namanya juga barusan dihantam sesuatu. Tapi, yang lebih penting untuk dicek sekarang adalah kamera kesayangannya.

Belum sempat ia menengok lensa, tahu-tahu saja bunyi sirine meraung. Gabungan polisi dan ambulans, sepertinya. Hiro tergopoh-gopoh menghampiri rekan kerjanya.

"Mar, kepala lu bocor, woi!" Suara tenor Hiro terdengar panik. Saat itulah Mary baru meraba pinggiran jidat dan mendapati darah di sana. Tangan Mary langsung ditarik oleh si redaktur atasan. "Jangan malah dipegang! Lu ikut ambulans, sana!"

"Hah?" Mary melongo saat badannya diseret berlari. "Eh, Mas, kalem. Kepala gue cuma luka biasa."

Hiro mendelik. "Ketimpuk batu itu nggak 'cuma', Mary Angelica Mulyabakti."

"Ya, tapi nggak usah dibawa ke rumah sakit segala?" Si gadis protes ketika dirinya diserahkan pada petugas ambulans. Ia berkacak pinggang. "Nih, walau nyut-nyutan dikit, kepala gue masih berfungsi normal, kok!"

[END] Heart Shutter - MaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang